104. HUBUNGAN SIFAT 20 DENGAN ASMA'UL HUSNA

Hubungan 20 Sifat Wajib bagi Allah dg al-Asma’ al-Husna

Sahabat Hikmah yg dirahmati Allah ta'ala ......
Bila 20 sifat wajib merupakan sifat-sifat pokok kesempurnaan Allah, bagaimana hubungannya dg al-Asmâ’ al-Husnâ (secara bahasa: nama-nama Allah yg indah)? Rasionalkah sifat wajib yg hanya 20 mencakup 99 al-Asmâ’ al-Husnâ? Tidakkah 20 sifat wajib justru menafikannya?

Bila mengetahui makna sebenarnya dari masing-masing al-Asmâ’ al-Husnâ, maka org akan memahami bahwa 99 al-Asmâ’ al-Husnâ itu sudah tercakup dalam sifat wajib yg dirumuskan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagaimana dalam al-Maqshad al-Asna Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) menulis pasal khusus tentang rasionalisasi kembalinya al-Asmâ’ al-Husnâ pada Dzat Allah (sifat wujud) dan tujuh sifat ma’ani sesuai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. 

Lebih lanjut Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) dalam al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ menjelaskan, meskipun nama al-Asmâ’ al-Husnâ sangat banyak, namun secara substantif kembali pada Dzat dan tujuh sifat ma’ani, yaitu melalui 10 kategori berikut:

a. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada Dzat, seperti Allah. Begitu pula al-Haq yg diartikan Dzat Allah yg wajib wujudnya.

b. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada Dzat dan menafikan ketidakpantasan, seperti al-Quddûs, as-Salâm, dan semisalnya. Sebab al-Quddûs menunjukkan Dzat Allah sekaligus menafikan sifat-sifat yg tidak pantas bagi-Nya yg terbersit di hati manusia, sedangkan as-Salâm menunjukan Dzat Allah sekaligus menafikan aib yg tidak pantas bagi-Nya.

c. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada Dzat disertai penyandaran pada hal lain (idhâfah), seperti al-‘Aliyy , al-‘Adhîm dan semisalnya. Sebab al-‘Aliyy menunjukkan Dzat Allah yg derajatnya di atas seluruh dzat selainnya, sedangkan al-‘Adhîm menunjukkan Dzat dari melampaui seluruh batas pengetahuan (idrâk) manusia.

d. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada Dzat, disertai menafikan ketidakpantasan dan penyandaran pada hal lain, seperti al-Mulk dan al-‘Azîz. Sebab al-Mulk menunjukkan Dzat Allah yg tidak membutuhkan apa pun dan segala sesuatu selain-Nya pasti membutuhkan-Nya, sedangkan al-‘Aziz menunjukkan makna Dzat Allah yg tidak ada bandingannya. 

e. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada salah satu sifat ma’ani, seperti al-‘Alîm, al-Qâdir, dan semisalnya. Sebab al-‘Alîm menunjukkan sifat ‘ilm, sedangkan al-Qâdir menunjukkan sifat qudrah.

f. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada sifat ‘ilm disertai penyandaran pada hal lain, seperti al-Khabîr, al-Hakîm dan semisalnya. Sebab al-Khabîr menunjukkan sifat ‘ilm dg disandarkan pada hal-hal yg samar, sedangkan al-Hakîm menunjukan sifat ‘ilm dg disandarkan pada hal-hal yg mulia. 

g. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada sifat qudrah disertai penyandaran pada hal lain, seperti al-Qahhâr, al-Qawiyy, dan semisalnya. Sebab al-Qahhâr menunjukkan sifat qudrah disertai pengaruh penguasaannya pada hal yg dikuasai, sedangkan al-Qawiyy menunjukkan makna sifat qudrah disertai kesempurnaannya.

h. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada sifat irâdah disertai penyandaran pada suatu perbuatan, seperti ar-Rahmân, ar-Rahîm, ar-Ra’ûf dan semisalnya. Sebab ar-rahmah sebagai kata dasar ar-Rahmân dan ar-Rahîm kembali pada sifat irâdah dg disandarkan pada perbuatan memenuhi kebutuhan makhluk yg lemah, sedangkan ar-ra’fah sebagai kata dasar ar-Ra’ûf berarti rahmat yg sangat maksimal. 

i. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada sifat-sifat al-fi’l (perbuatan Allah), seperti al-Khâliq, al-Wahhâb. Sebab al-Khâliq menunjukkan perbuatan Allah dalam menciptakan makhluk, sedangkan ar-Razzâq yg menunjukkan perbuatan Allah dalam menciptakan rezeki dan org yg diberi rezeki, menyampaikan rezeki kepadanya, serta menciptakan berbagai sebab sehingga ia mampu menikmatinya. 

j. Al-Asmâ’ al-Husnâ yg kembali pada sifat-sifat al-fi’l (perbuatan Allah) disertai hal lain, seperti al-Majîd, al-Karîm. Sebab al-Majîd menunjukkan perbuatan Allah dalam memuliakan makhluk yg sangat luas disertai kemuliaan Dzat-Nya, sedangkan al-Karîm menunjukkan perbuatan Allah yg bila berjanji pasti memenuhi, bila memberi pasti melebihi harapan, dan tidak memperdulikan seberapa banyak pemberian-Nya dan kepada siapa memberinya, disertai kemuliaan Dzat-Nya.
**********

Di akhir penjelasannya Imam al-Ghazali menegaskan:

فَلَا تَخْرُجُ هٰذِهِ الْأَسَامِي وَغَيْرُهُا عَنْ مَجْمُوعِ هٰذِهِ الْأَقْسَامِ الْعَشْرَةِ. فَقِسْ مَا أَوْرَدْنَاهُ بِمَا لَمْ نُورِدُهُ. فَإِنَّ ذٰلِكَ يَدُلُّ عَلٰى وَجْهِ خُرُوجِ الْأَسَامِي عَنِ التَّرَادُفِ مَعَ رُجُوعِهَا إِلٰى هٰذِهِ الصِّفَاتِ الْمَحْصُرَةِ الْمَشْهُورَةِ.

“Maka al-Asmâ’ al-Husnâ (yg 99) ini dan selainnya tidak keluar dari 10 kategori ini. Qiyaskan al-Asmâ’ al-Husnâ yang telah aku sebutkan dg yg tidak aku sebutkan. Sebab hal itu akan menunjukkan tidak terjadinya kesamaan (sinonim) pada Asma’ al-Husna sekaligus menunjukkan kembalinya Asma’ al-Husna pada tujuh sifat (ma’ani dan Dzat/sifat wujud) yg masyhur ini.”

Pola pendekatan al-Ghazali ini kemudian diikuti oleh al-Fakhr ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) dalam Syarh al-Asmâ’ al-Husnâ dan Abu al-‘Abbas Ahmad bin Mu’id al-‘Uqlisi (w. 550 H/1155 M) sebagaimana disinggung al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari. 

Wallahu A'Lam ......

Postingan populer dari blog ini

31. 40 KAIDAH FIQIH UMUM (KULLIYAH)

68. KIFAYATUL AWAM