31. 40 KAIDAH FIQIH UMUM (KULLIYAH)

40 kaidah umum (kulliyah):

1.الاجتهاد لا ينقد بالاجتهاد
-Kaidah pertama: “al ijtihadu la yunqodhu bi al ijtihad”
( suatu ijtihad tidak bisa dirusak dengan ijtihad yang lain)

Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang kemudian , sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil ijtihad yang baru. Yang demikian ini adalah karena :
1.        Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad pertama.
2.        Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.

Berdasarkan kaidah ini, maka pabila suatu pengadilan telah memutuskan hukum  terhadap suatu peristiwa , kemudian pada kesempatan lain ada peristiwa yang sama, pengadilan tersebut memutuskan hukum yang lain, maka hasil keputusan yang baru tidak merubah keputusan terdahulu, tetapi hanya berlaku pada peristiwa yang baru.
Contoh :
            Seorang hakim berdasarkan ijtihad telah mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun. Tetapi pada kesempatan yang lain dalam peristiwa yang sama dia mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman kurang dari 10 tahun. Maka dalam hal ini keputusan yang baru tidak merusak keputusan ynag terdahulu, artinya pelaku yang pertama tetap dihukum 10 tahun,  dan pelaku yang kedua tetap dihukum kurang dari 10 tahun.
Contoh lain :
1.      Seorang sembahyang dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat, kemudian pada waktu masuk sembahyang berikutnya berubah angapannya tetang kiblat, maka dia harus menghadapi arah yang dianggapnya kiblat dan tidak wajib mengqadla shalatnya yang pertama.
2.      Seseorang yang ijtihadnya telah menentukan sucinya salah satu dari bejana kemudian mengunakannya dan meninggalkannya, kemudian berubah anggapannya, maka tidak boleh melakukan seperti anggapan yang kedua, tetapi harus tayamum.
Catatan :
            Rusak keputusan ijtihad seorang hakim apabila berlawanan dengan nash atau ijma’ atau qiyas jaly, atau menurut Al-Iraqy, berlawanan dengan kaidah-kaidah yang kully, atau menurut ulama-ulama Hanafi, hukumnya tidak berdasarkan suatu dalil.

2. (إذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَامُ
- Kaidah kedua: “idza ijtama’a al halalu wal haramu ghulliba al haramu”
(jika berkumpul suatu yang halal dengan yang haram, maka harus dimenangkan yang haram.

ulama mendasarkan kaidah ini pada suatu hadist :
مَاااجْتَمَعَ عَلَيْهِ الْحَلَا لُ وَالْحَرَامُ اِلَّاغَلَبَ الْحَرَامُ قَالَ الحَافِظُ اَبُوْالْفَضْلِ الِعرَاقِى : لَااَصْلَ لَهُ
“Manakala berkumpul yang halal dengn haram, maka dimenangkan yang haram”.
            Walaupun hadis diatas ini sanadnya dhaif, tetapi kaidahnya sendiri adalah benar sesuai perintah agama, yaitu untuk selalu berhat-hati, yakni upaya preventif sebelum terjadi pelanggaran yang lebih berat.
            Demikian pula apabila dua dalil bertentangan yang satu mengharamkan, dan yang lain menghalalkan, maka di dahulukan yang mengharamkan.
Contoh : ketika sahabat Utsman bin Affan RA ditanya tentang umunya mengumpulkan dua orang wanita bersaudara, yang satu merdeka, yang satu budak, yang keadaanya menurut ayat An-Nisa :
وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَىْنَ الْاُ خْتَىَىْنِ
“Dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan) dan dua orang wanita bersaudara.”(hal 51-52)
Pertentangan antara dua hadis, yaitu :
لَكَ مِنَ الْحَائِضِ مَا فَوْقَ الْاِ زَارِ.
“bagimu boleh berbuat sesuatu terhadap istrimu yang sedang haid pada segala yang berada di atas kain pinggang”.
Dengan Hadis:
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَىْءٍ اِلاَّ االنِّكَاحِ
“perbuatlah segala sesuatu (terhadap istri yang sedang haid) kecuali persetubuhan”.
            Hadits yang pertama menunjuk kepada hukum haram istri yang sedang haid berbuat sesuatu antara pusar dan lutut.
            Sedangkan hadits yang kedua membolehkan berbuat segala seuat terhadap istri yang sedang haid, kecuali bersetubuh.
اِذَاتَعَا رَضَ اْمَا نِعُ وَالْمقَتَضِىْ قُدِّ مَ الْمَا نِعُ
“Apabla berlawanan antara yang mencegah dan yang mengharuskan, didahulukan yang mencegah”.
Contoh : Orang yang junub kemudian mati syahid, maka yang lebih sah ia tidak dimandikan. Bahkan apabila waktunya sempit atau airnya kurang untuk kesempurnaan mandi, haram memandikannya.

3. الإِيْثَارُ بِالْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِيْ غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ

- Kaidah ketiga: “al itsaru bil qurobi makruhun wafi ghairiha mahbubun”
(mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah itu hukumnya makruh sedang diselain ibadah itu disunnatkan).

Asal dari kaidah ini adalah firman Allah :
فَا سْتَبِقُ الْخَيْرَاتِ.
“berlomba-lombalah kamu sekalian didalam kebajikan.”(hal 55)

4. اَلتَّابِعُ تَابِعٌ
- Kaidah keempat: “al tabi’u tabi’un”
(hukum dari suatu cabang itu harus mengikuti pokoknya).

Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
اَتَّابِعُ لَايَفْرِدُبِالْحُكْمِ
“Pengikutnya hukumnya tidak tersendiri”
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang diikuti” berlaku juga untu yang mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang bunting, anak yang ada didalam kandungannya termasuk kedalam akad itu.
اَتَّابِعُ سَاقِطٌ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang dikuti”
            Apabila hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula hukum yang mengikuti.
Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat fardhu, karena itu tidak disunnahkan shalat sunnah rawatib, kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya shalat sunnah menjadi gugur pula.
Dekat dengan kaidah diatas adalah :
اَلفَرْعُ يَسْقُطُ اِذَاسَقَطَ الْاَصْلُ
“cabang menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh”
Contoh : Apabila anak yang pandai dan baik itu bebas (dari kesalahan), bebas pula penanggungannya; dan apabila dia jatuh (dinyatakan bersalah), salah pula penaggungnya, sebab penanggung adalah cabang dari yang ditanggung.
اَتَّابِعُ لاَيَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ
“pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”.
Jadi yang diikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.
Contoh: makmum tidak boleh mendahului iman, baik tempat berdirinya maupun gerakannya.
يُغْتَفَرُفِى التَّوَابِعِ مَالَايُغْتَفَرُفِى غَيْرِهَا
“dapat dimaafkan dari hal-hal yang mengikuti, tidak dimafkan pada yang lainnya”.
            Dengan kaidah yang di atas;
يُغْتَفَرُفِى شَيْءٍضِمْنًامَالَايُغْتَفَرُفى غَيْرِهَا
“sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang lain,tidak dapat dimaafkan karena sengaja”.
Kadang-kadang dikatakan;
يُغْتَفَرُفِى الثَّوَانِى مَالَايَغْتَفِرُفِى الْاَوَائِلِ
“dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi yang lain.
Contoh: Orang yang sedang ihram tidak sah nikah, tetapi sah rujuknya, karena adanya rujuk setelah adanya nikah.

5. تَصَرَّفُ الاِمَامِ عَلى الرَّعِيَّةِ منُوْطٌ بِالمَصْلَحَةِ
- Kaidah kelima: “tasarruful imam ala ra’iyyah manutun bil maslahah”
(tasarruf dari seorang pemimpin atas rakyatnya itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang baik).

لَةِ الْاِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“keduduan imam tergadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.

6. اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
- Kaidah keenam: “al hududu tasqutu bi al syubuhat”
(hukum-hukum had itu bisa digugurkan denagn adanya sesuatu yang meragukan).

Kaidah ini berasal dari sabda Nabi :
اٍدْرَاؤُاالْحُدُوْدِبِالشُّبُهَاتِ
“hindarkanlah hukuman hukuman karena adanya syubhat”.
contoh: mengambil kendaraan ditempat perparkiran, karena cat dan merk sama, ternyata bukan.
اَلْكَفَّارَةُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
“kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya syubhat”.
Contoh : orang melakukan persetubuhan di bulan Ramadlan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.

7. اْلْحُرُّلاَيَدْ خُلُ تَحْتَ الْيَدِ
- Kaidah ketujuh: “al hurru la yadkhulu tahtal yadi”
(orang yang merdeka/bukan budak itu tidak bisa dikuasai oleh orang lain).
Contoh : Seandainya mengurung orang yang merdeka, dengan memperlakukannya dengan baik, kemudina da mati karena tertimpa tembok yang roboh dan sebagainya, maka tidak wajib membayar ganti ruginya.

8.
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَحَرِيْمٌ لَهُ
Kaidah kedelapan: “harimus syai’i bimanzilatihi”
(pagar atau batas dari sesuatu itu hukumnya sama dengan sesuatu yang dibatasinya).

Dasar dari kaidah ini ialah hadis Nabi :
اَلْحَلَالُ بَيّنٌ وَالْحَرَامُ بَيْنَ وَبَيْنَهُمَااُمُوْرٌمُشْتَبِهَاتٌلاَيَعْلَمَهُنَّ كَثِيْرٌمِنَ النَّاسِ.فَمَنِ اتَّقَي الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَءَلِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَارَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يَوْشِكُ يَرْتَعَ فِيْهِ.
“Yang halal telah jelas dan yang haram talah jelas, dan diantara keduanya ada masalah-masalah mutsyabihat( yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, berti ia halal membersihkan agama dan dirinya;dan barang siapa yang jatuh kepada keharaman, seperti seorang penggembala yang mengembala disekitar pagar dan larangan, dikhawatirkan akan melanggar (memasuk) ke dalam pagar”.

9. اِذَاجْتَمَعَ اَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ لَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَادَخَلَ فِى الْاخِرِغَا لِبًا

- Kaidah kesembilan: “idza ijtama’a amrani min jinsin wahidin walamyakhtalif maksuduhuma dakhola ahaduhuma fil akhori gholiban”
(jika ada dua hal yang sejenis dan tidak berbeda tujuannya, maka kebanyakan salah satu dari keduanya bisa masuk hukum yang lain),
seperti mandi wajib antara mandi karena haid dan mandi karna nifas bisa dijadikan satu.

10. اْعْمَا لُ الكلَامِ اَوْلَى مِنْ اِهما لِهِ
- Kaidah kesepuluh: “i’malul kalami aula min ihmalihi”
(kata-kata itu lebih baik dipergunakan sebagai bukti daripada diacuhkan),
seperti contoh jika ada suami berkata pada istrinya dan pada kambingnya: salah satu dari kalian aku caraikan. Maka sang istri dihukumi sudah dicerai.

11. اَلْخَرَاجُ بِاالضَّمَانِ

- Kaidah kesebelas: “al khoroju bi al dhomani”
(keuntungan yang diambil dari suatu benda itu harus diganti jika benda tersebut dikembalikan).

12. اَلْخُرُوْجَ مِنَ الخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ
- Kaidah keduabelas: “al huruju minal khilafi mustahabbun”
(keluar dari masalah sengketa itu dianjurkan).

Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dasar kidah ini ialah sabda Nabi SAW :
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَلِدِيْنِهِ
            “Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat (tidak jelas hukumnya), maka ia mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
            Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
            Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat yaitu :
1.                  Jangan sampai membawa khilaf yang lain.
2.                  Jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabit.
3.                  Hendaknya kuat dasarnya.

13. الدَّفْعُ اَقْوَى مِنَ الرَّفْعِ
- Kaidah ketigabelas: “al daf’u aqwa min al rof’i”
( hukum menolak itu lebih kuat dari pada hukum menghilangkan).

      Artinya menolak agar tigak terjadi itu lebih kuat daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi.
            Menjaga diri agar tidak sakit, lebih utama daripada mengobati setelah sakit.
Contoh pelaksanaan kaidah ini adalah: adanya air sebelum shalat bagi orang yang tayamum, berarti mmencegah untuk melaksanakan shalat. Tetapi adanya di tengah-tengah shalat tidak membatalkan shalat.

14. الرُّخْصُ لَاتُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
- Kaidah keempat belas: “al ruhosu la tunatu bi al ma’asi”
(keringanan hukum itu tidak bisa digantungkan dengan tindak maksiat).

Rukhshah diberikan adalah karena adanya sebab, namun apabila sebab itu ada kaitannya dengan perbuatan maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshah ini tidak diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat itu bisa diberikan rukhshah.
            Berpergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk mengqashar dan menjama’, atau berbuka puasa. Sedang kalau berpergiannya tidak maksiat semua ini dibolehkan.

15. الرُّخْصُ لَاتُنَاطُ بِالِثَّلِثِ
- Kaidah kelimabelas: “al ruhosu la tunatu bi al syak”
(keringanan tidak bisa digantungkan dengan keraguan).
Artinya orang ragu-ragu tentang dibolehkannya qashar, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena yang asal ibadah harus dikerjakan secara sempurna.

16. الر ضا با لشئ رضا بما يتولد منه
- Kaidah keenambelas: “al ridho bi syai’i ridhon bima yatawalladu minhu”
(rela dengan adanya sesuatu itu berarti rela dengan akibat yang akan ditimbulkannya).
Searti dengan kaidah ini ialah kaidah:
المتولد من ما ذ ون فيه لا اثرله

“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya”.
            Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, makaia harus menerima segala rentean persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh:Orang membeli barang yang sudah cacat, dia harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu. Misalnya: cacatnya berkembang lebih besar. Demikian pula membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua yang terjadi akibat dari sakitnya binatang tersebut.

17. السؤال معا د فى الجوا ب
- Kaidah ketujuhbelas: “al su’alu muadun fil jawabi”
(kalimat yang ada dalam pertanyaan itu diulang dalam jawaban),
contohnya jika ada seorang berkata aku jual barang ini dengan harga seribu, lalu ada orang lain menjawab: aku beli, itu berarti membeli dengan harga seribu.

18. لاينسب الى سا كت قول
- Kaidah kedelapanbelas: “la yunsabu li sakitin qoulun”(orang yang diam tidak bisa dihukumi dengan perkataan apapun).

19.
     ما كا ن اكثر فعلا كا ن اكا ن اكثر فضلا
- Kaidah kesembilanbelas: “ma kana aktsaro fi’lan kana aktsaro fadhlan”
(sesuatu yang lebih banyak pekerjaannya maka akan lebih banyak upahnya).
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:
اجرك على قد ر نصبك (رواه مسلم)
“Pahalamu adalah Berdasarkan kadar usahamu”.
Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah, maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat, makin tambah keutamaannya.
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama disbanding dengan secara disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuatan, diantaranya ialah:
Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik daripada shalat dengan tidak qashar.

20.المتعد ى            افضل من القا صر
- Kaidah keduapuluh: “al muta’addy ‘indahum afdholu minal qosir”
(menurut para ulama’ bahwa orang yang kelewat batas itu lebih baik daripada orang yang sembrono).

Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencakup kepada kepada orang lain, lebih utama dari pada perbuatan yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan kaidah ini, maka Abu Ishaq, Imam Haromain dan ayahnya berpendapat, bahwa bagi yang melakukan fadlu kifayah mempunyai kelebihan daripada melakukan fadlu ain, karena dengan melakukan fadlu kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran yang ada pada ummat.
Menurut imam Syafi’I, mencari ilmu itu lebih utama dari pada shalat sunat, karena mencari ilmu akan bermanfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnat itu hanya manfaatnta pada diri sendiri.

21. الفر ض افضل من النفل
- Kaidah keduapuluh satu: “al fardhu afdholu min al nafli”
( ibadah fardhu itu lebih utama daripada ibadah sunnah).
Rasulullah SAW dalam salah satu Hadits beliau:
من تقر ب فيه بخصلة من خصا ل الخير كا ن كمن اد ى فريضة فيما سواه ومن ادى فريضة فيه كا ن كمن ادى سبعين فريضة فيما سواه
“Barangsiapa mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah dalam bulan Ramadhan dengan salah satu perbuatan kebaikan (ibadah sunnah), maka dia sepertulan  menunaikan ibadah fardlu diluar bulan Ramadhan, dan barangsiapa nmelakukan satu ibadah fardlu dalam bulan Ramadhan, maka dia seperti menunaikan 70 ibadah fardlu diselain bhulan Ramadhan.”
Dalam Hadits ini Nabi telah memperbandingkan antara sunnah dalam bulan Ramadhan dengan 70 fardlu di luar Ramadhan, semua ini memberi pengertian bahwa fardlu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.

22. الفضيلة المتعلقة بذا ت العبا د ة اولى من المتعلقة بمكا نه
- Kaidah keduapuluh dua: “al fadhilah al muta’aliqoh bi dzatil ibadah aula min al muta’aliqoh bi makaniha wa zamaniha”
(keutamaan yang berhubungan dengan ibadah itu sendiri itu lebih utama daripada yang berhubungan dengan waktu dan tempat).

Pensyarah kitab Al-Muhadzdzab berkata: segolongan dari segolongan kami (Syafi’iyyah) menegaskan, bahwa kaidah ini adalah penting, dan kaidah ini difahamkan dari perkataan ulama-ulama yang terdahulu.
Diantara hukum yag ditetapkan berdasarkan kaidah ini ialah:
1.      Shalat fardlu di masjid lebih utama daripada diluar masjid
2.      Shalat sunnah dirumah adlah lebih utama daripada suhalat sunnah di  masjid.
3.      Thawaf dekat dengan ka’bah adlah sunnah, lari kecil disunatkan dengan dekat pada ka’bah

23. الواجب لا يتر ك الا لوا جب
- Kaidah keduapuluh tiga: “al wajib la yutroku illa li wajib”
(suatu kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karna adanya kewajiban yang lain).
Jadi dari kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban yang mengahruskan untuk meninggalkan.
Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/melukai adalah tindak pidana haram.
Yang dikecualikan dari kaidah tersebu yaitut:
Sujud sahwi dan sujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu tidak boleh dilakukan.

24.
- Kaidah keduapuluh empat: “ma aujaba a’dhoma amroini bi khususihi la yujibu ahwanahuma bi umumihi”
(kewajiban yang ada pada sesuatu yang lebih besar itu bisa menggugurkan kewajiban pada sesuatu yang lebih kecil), seperti kewajiban mandi menggugurkan kewajiban wudlu.

25. ما ثبث با لشرع مقد م على ما وجب با لشرط

- Kaidah keduapuluh lima: “ma tsabata bil syar’i muqoddamun ala ma tsabata bil syarti”
(sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ itu lebih didahulukan daripada sesutau yang ditetapkan karna adanya syarat).

Ketetapan yang berasal dari syara’ harus didahulukan pengamalannya daripada ketetapan yang timbul dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia, sehingga karenannya tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang wajib, seperti nadzar berpuasa Ramadhan, atau nadzar shalat fardlu dan sebagainya.
Demikian pula apabila seorang suamrkata pada istrinya: “Saya thalak kamu dan kepadamu akan saya beri uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak untuk rujuk kepadamu”.
Perkataan member uang Rp. 10.000,- sebagai syarat untuk rujuk adalah gugur, sebab pada hakikatnya syara’ telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.

26. ما حرم استعما له حرم ا تخا ذ ه

- Kaidah keduapuluh enam: “ma haruma isti’maluhu haruma ittikhodhuhu”
(sesuatu yang haram dipakai berarti haram disimpan).
Dasar kaidah ini ialah Sabda Nabi saw.
ومنوقع فى الشبها توقع فى الحرام . كا لرا عى يرعى حول الحما يوشك ان ير تع فيه (متفق عليه)
“Barangsiapa jauh pada barang syubhat, jauh pada haram, seperti pengembala yang mengembalakan disekitar larangan dikhawatirkan akan masuk pada larangan”

27. ما حرم اخذ ه حرم اعطا ؤه
- Kaidah ke duapuluh tujuh: “ma haruma akhdhuhu haruma i’to’uhu.
(sesuatu yang haram untuk diambil berarti haram diberikan).
Dasar kaidah ini adalah Firman Allah:
ولا تعا ونوا على الا ثم والعد وان . (الما ئدة:3)
“jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”.

28. المشغول لا يشغل
- Kaidah keduapuluh delapan: “al masyghulu la yusygholu”
(sesuatu yang sudah disibukkan itu tidak boleh ditambah kesibukan lagi), contohnya barang yang statusnya digadaikan itu tidak boleh digadaikan lagi, tidak boleh ada dua akad.
Artinya apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek sesuatu aqad, tidak boleh dijadikan obyek aqad lain, karena itu telah terikat dengan aqad yang pertama.
Contoh: Tidak boleh barang yang sudah dijadikan jaminan sesuatu hutang, kemudian dijadikan jaminan hutang yang lain.

29. المكبر لا يكبر
- Kaidah keduapuluh sembilan: “al mukabbar la yukabbar”
(sesuatu yang sudah dibesarkan /diperbanyak itu tidak boleh diperbanyak lagi), contoh hukum taslis tidak disunnatkan pada cara membasuh najis anjing karena sudah tujuh kali.

30. من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحر ما نه
 
- Kaidah ketigapuluh: “man ista’jala syai’an qobla awanih ‘uqiba bi hirmanihi”
(barang siapa tergesa-gesa dengan sesuatu sebelum masanya maka dia tidak akan mendapatkannya).

31. النفل اوسع من الفرض
- Kaidah ketigapuluh satu: “al naflu ausa’u hukman minal fardhi”
(hukum sunnah itu lebih luas ketimbang hukum fardhu).

Suatu perbuatan yang disyariatkan sebagai perbuatan sunnah, pelaksanaannya lebih longgar daripada perbuatan yang disyari’atkan sebagai perbutan yang wajib.

32. الو لا ية الخا صة اقوى من الولا يةالعا مة
- Kaidah ketigapuluh dua: “al wilayatul khossoh aqwa minal wilayatil ‘ammah”
(kekuasaan husus itu lebih kuat daripada kekuasaan umum).
Suatu benda atau persoalan yang berada dibawah suatu kekuasaan, maka pemegang kekuasaan yang khusus terghadap benda dan persoalan tersebut, kedudukan dan wewenangnya lebih kuat daripada pengusa umum, sehingga penguasa umum tidak dapat bertindak langsung terhadap benda atau persoalan yang ada penguasa khususnya, selama penguasa khususnya ada dan masih berfungsi.

33. لاعبرة باالظن البين خطؤه
- Kaidah ketigapuluh tiga: “la ‘ibrota bi al dhon al bayyini khoto’uhu”
(dugaan yang salah itu tidak dianggap).

Arti dhon ialah persangkaan yang kuat, atau suatu pendapat yang lebih cenderung kepada tetapnya atau benarna daripada tidaknya.Jadi maksud kaidah ini ialah bahwa suatu keputusan hukum yang didasarkan pada dhon, tetapi kemudian jelas salahnya, maka hukum tersebut tidak berlaku atau batal.

34.  الا شتغال بغيرالمقصود اعراض عن المقصود
- Kaidah ketigapuluh empat: “al isytigholu bi siwal maqsudi i’rodhun ‘anil maksudi”
(sibuk dengan selain tujuan itu barati berpaling dari tujuan).

Contoh: Orang bersumpah tidak bertempat tinggal pada suatu rumah.kalau setelah bersumpah itu dia masih mondar-mandir dirumah itu, berarti dia telah melanggar sumpahnya. Tetapi kalau dia mondar-mandir itu karena sibuk mengumpulkan barang-barangnya karena  keindahannya, maka dia tidak melanggar sumpah.

35.  لاينكرالمختلف فيه رانما ينكر المجمع عليه
- Kaidah ketigapuluh lima: “la yunkaru al mukhtalafu wa innama yunkaru al mujma’u alaihi”
(sesuatu yang diperselisihkan itu tidak di pungkiri, sesungguhnya
yang dipungkiri itu adalah sesuatu yang sudah disepakati).
Menurut kaidah ini sesorang tidak dianggap berbuat perbuatan yang munkar, sehingga karenanya wajib diingkari (dilarang) kalau perbuatan yang dikerjakan itu hukum haramnya diperselisihkan.Tetapi baru dianggap munkar dan wajib diingkari (dicegah) kalau perbuatan tersebut keharamannya telah disepakati.

36. ىدخل القوي على الضعيف ولاعكس
- Kaidah ketigapuluh enam: “ yadkhulu al qowiyu ala al dho’ifi wala aksa”
(sebab yang kuat itu bisa masuk padda sebab yang lemah dan tidak sebaliknya).
Suatu perkara yang dituntut, baik untuk mengerjakan atau untuk meniggalkan, dengan tuntutan atau hukuman yang lebih berat dapat mencakup perkara yang sejenis, yang tuntutannya atau hukumannya lebih lemah, tetapi tidak sebaliknya, yakni yang tuntutannya lebih lemah tidak dapat mencakup yang tuntutannya lebih kuat.
Berdasarkan kaidah ini diperbolehkan melakukan ibadah haji sekaligus umroh, tetapi  tidak boleh melakukan ibadah umroh sekaligus haji.

37. يعتفرفى الو سا ئل مالا يعتفر رفى المقاصد

- Kaidah ketigapuluh tujuh: “yughtafaru fil wasa’ili mala yughtafaru fil maqasidi”
(hal-hal yang tidak bisa dimaklumi dalam tujuan itu bisa dimaklumi dalam perantara dari tujuan tersebut).
Pengertiannya adalah, bahwa sesuatu yang harusada pada pa yang menjadi maksud haruslah dipenuhi, sedangkn pada cara untukmencapai maksud dapat dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau mengurangi.

38.  الميسور لايسقط بالمعسور
- Kaidah ketigapuluh delapan: “al maisur la yasqutu bil ma’sur”
(perkara yang mudah tidak bisa gugur dengan adanya perkara yang sulit).

Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi saw:
اذا امرتتكم بامر فأ توامنه ماستطعتم
“Apabila aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah menurut perintahmu”
            Setiap amalan dalam syara’ harus dilaksanakan menurut daya kemampuan si mukallaf.
            Berdasarkan kaidah ini, ulama Syafi’iyyah menolak pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa orang yang tidak dapat menutupi auratnya, shalatnya harus dengan duduk, artinya karena tidak dapat menutup aurat, maka gugurlah kewajiban shalat dengan berdiri.

39. مالايقبل التبعيض فا ختيا ربعضه كا ختيا ر كله واسقا ط بعضه كا سقا ط كله
          
- Kaidah ketigapuluh sembilan: “ma la yaqbalu al tab’idh fa ikhtiyaru ba’dhihi ka ikhtiyari kullihi wa isqotu ba’dhihi ka isqoti kullihi”
(sesuatu yang tidak bisa dibagi itu jika dipilih sebagian maka berarti memilih keseluruhan, dan membatalkan sebagian berarti membatalkan keseluruhan).

Sesuatu barang atau pekerjaan atau keadaan ada kalanya dapat dibagi-bagi yang sebagian dapat dipisahkan dengan bagian yang laintetapi ada pula yang tidak dapat dibagi-bag, seperti thalak, qishas, merdeka dan sebagainya.

40. اذااجتمع السبب والغروروالمبا شرة قد مت المبا شرة

- Kaidah keempat puluh: “idha ijtama’a al sabab wal ghurur wal mubasyarah quddimat al mubasyarah”
(jika dalam suatu masalah itu berkumpul antara faktor penyebab, tipuan, dan faktor pelaku, maka yang dikenai hukuman adalah faktor pelaku).

Apabila dalam suatu peristiwa terdapat tiga factor yang mengakibatkan terjadinya, yaitu:
1.      Yang merupakan sebab bagi terjadinya peristiwa.
2.      Berwujud penipuan yang membantu terjadinya peristiwa.
3.      Perbuatan langsung yang mengakibatkan terjadinya peristiwa.
Maka dalam kasus ini, perbuatan yang langsung mengakibatkan  peristiwa itulah yang mula-mula harus dimintai pertanggungan jawabannnya.
Contoh:
Dalam suatu pembunuhan, bekerja sama tiga orang yang pertama sebagai penunjuk jalan, yang kedua sebagai pelaksana penipu si korban,untuk datang pada suatu tempat tertentu, sedangkanyang ketiga dialah yang langsung membunuhnya setelah berada di tempat yang ditentukan, maka dalam hal ini orang ketigalah yang pertama-tama harus dituntut lebih dahulu.

Postingan populer dari blog ini

68. KIFAYATUL AWAM