79. TAWANAN
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
أَنَّ الْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ الْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ الشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟
? “Orang yang bermaksiat selalu dalam tawanan setannya, dalam penjara syahwatnya dan belenggu hawa nafsunya, maka ia tertawan, terpenjara lagi terbelenggu. Dan tidak ada tawanan yang lebih jelek keadaannya dari tawanan yang ditawan oleh musuh terbesarnya, tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu dan tidak ada belenggu yang lebih sulit terlepas dari belenggu syahwat; maka bagaimana bisa hati yang tertawan, terpenjara lagi terbelenggu berjalan menuju kepada Allah dan negeri akhirat!? Bagaimana bisa ia mengayun satu langkah!?” [Al-Jawaabul Kaafi, hal. 79]
Ibnu Mas’ud mengingatkan: “Kalian saat ini berada dalam suatu zaman, yaitu hawa nafsu mengikuti ilmu. Pada saatnya nanti akan datang kepada kalian suatu zaman dimana ilmu mengikuti nafsu” (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin 1, hal. 124).
Ilmu itu cahaya (al-ilmu nur) yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Maka, llmu yang benar tidak bersekutu dengan hawa nafsu yang menarik kepada maksiat. Karena itu, menaklukkan hawa nafsu harus dengan ilmu. Bila ada seseorang yang justru takluk oleh hawa nafsunya, maka selebar apapun ilmunya akan berubah menjadi jahil, bahkan menyesatkan.
Dalam ibadah jangan berlebihan, jangan pula memberatkan diri sendiri, dan janganlah memprrsulit diri dalam ibadah.
`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”[3]
Tasyaddud (Memberat-Beratkan Diri).
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
“Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka.”[4]
Dalam hadits lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal).