74. TAJRID
T A J R I D
Tajrid secara bahasa adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Maksud tajrid dalam pemahaman tasawuf bahwa jika kita sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada pebuatan tersebut dengan niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain. Kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri kepada Allah itulah yang dimaksudkan dalam kalimat : “ iyyaka na’budu wa iyyaka nastain “ dalam surah al fatihah.. Dalam ayat ini dipakai kalimat “Iyaaka” bukan “Ilaika”. Iyyaka artinya adalah hanya kepadaMu Ya Allah, dan tidak kepada yang lain sedikitpun sedang ilaika “ kepadaMu “; berarti dalam kalimat ‘iyyaka “ tersembnyi makna “tajrid” dan “tafrid”. Tajrid mengosongkan diri daripada segala sesuatu sedangkan tafrid hanya menuju kepada Allah Yang Esa, sebab kalimat tafrid berasal dari “fardun “, yang bermakna tunggal, satu, tidak ada yang lain. Ulama menyatakan “ tajrid “ dalam ibadah sedangkan “tafrid “ dalam ubudiyah. “Tajrid” dari hamba kepada Allah sedangkan tafrid terdapat pada Dzat Allah.
Ada kumpulan yang mengatakan bahwa tajrid adalah mengosongkan dunia dari kehidupan sehingga kehidupan hanya untuk beribadah kepada allah, padahal tajrid dalam amal ibadah tidak dapat dilakukan dengan meninggalkan amal shaleh, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Athaillah dalam kitab al Hikam : “ Keinginan anda untuk tajrid padahal Allah menempatkan anda pada asbab, maka hal itu termasuk syahwat yang tersembunyi. Sebaliknya jika melakukan “asbab” padahal Allah menempatkan anda pada kedudukan tajrid, maka hal itu berarti kemerosotan daripada himmah yang luhur “. Said Hawa menjelaskan bahwa tajrid disini maksudnya adalah meninggalkan pekerjaan duniawi, sehingga seakan-akan maksud Ibnu Athaillah adalah : “ Jika anda ditempatkan Allah pada kedudukan untuk melakukan ikhtiar dengan sebab-sebab sedangkan hatimu menginginkan tajrid, maka itu berarti akibat pengaruh syahwat yang tersembunyi “.
Disini Imam Athaillah menyatakan bahwa “tajrid” tidak berarti menghilangkan “asbab”. Sikap “Tajrid” adalah sikap hati yakin hanya Allah menentukan segala sesuatu tetapi keyakinan tersebut tidak boleh mengurangi amal terhadap sebab-sebab dalam berikhtiar.
Selama di dunya, pasti akan mendapatkan ujian baik yang menyenangkan ataupun merisaukan.
Dalam hal ini berat atau ringannya ujian, semua bergantung kepada kekuatan agama dan imannya.
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُل
ْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”
[ HR. Tirmidzi, Ibnu Majah , Ahmad ]
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya balasan terbesar dari ujian yang berat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa murka (tidak suka pada cobaan tersebut), maka baginya murka Allah.”[Hr.muslim]
Kewajiban kita adalah ikhtiar, sabar dan tawakal.
Kewajiban kita adalah bersabar dan bersabar. Ganjaran bersabar sangat luar biasa. Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10).