Dzikir
sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
" إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً فَإِنْ كَانَ صَاحِبُهَا سَدَّدَ وَقَارَبَ فَارْجُوهُ وَإِنْ أُشِيرَ إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ فَلا تَعُدُّوهُ " رواه الترمذي 2453 وحسنه الألباني في صحيح الترمذي (1995) .
“Sesungguhnya pada segala sesuatu itu ada masasemangat. Dan pada kesemangatan itu ada (massa) kemalasan. Kalau orang yang dalam kondisi malas dapat menjaga keseimbangan (amalannya). Maka semoga mendapatkan kemenangan. Kalau dia (terlalu semangat dalam beramal sampai terkenal) dan ditunjuk. Maka dia jangan dimasukkan (golongan orang saleh).” (HR. Tirmizi)
Maksud dari kalimat ‘Inna Likulli Syain Syirroh' maksudnya sangat menjaga sesuatu dengan semangat dan berkeinginan melakukan kebaikan.
Kalimat 'Likulli Syirroh Fatrah' adalah disini (ada waktu) lemah dan tenang.
'Fain Shohibuhu saddada wa qoroba' maksudnya pemilik semangat amalannya tengah dan menjauhi dua kubu berlebih-lebihan dalam semangan dan terlalu turun dalam kelemahan.
'Faarjuhu' adalah harapan kemenangan darinya, karena kemungkinan dia dapat konsisten di tengah-tengah. Dan amalan yang paling disenangi Allah adalah yang paling langgeng.
'Wain Usyiro Bil Ashobi’ maksudnya bersemangat dan berlebihan dalam beramal sehingga sampai menjadi terkenal dalam beribadah dan zuhud. Dan jadi orang terkenal yang ditunjuk
'Fala Ta’udduhu' maksudnya jangan dihitung dan dimasukkan golongan orang-orang saleh karena dia (melakukan dengan) riya’. Tidak dikatakan jangan diharapkan, hal itu memberi isyarat bahwa terjatuh dan tidak memungkinkan mendapatkan apa yang telah terlewatkan.
(Kitab Tuhfatul Ahwadzi)
____
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS.ash Shaafat(37)96)
Artinya; apapun yang sedang dikerjakan manusia, sesungguhnya—seperti juga dirinya—pekerjaan itu adalah ciptaan Allah. Oleh karena itu, sejak dzikir itu dilakukan, hendaknya diberangkatkan dengan pemahaman yang kuat, bahwa dzikir tersebut hanyalah sebuah pelaksanaan (taqdir) dari sebuah ketetapan (qadla) sejak zaman azali. Orang yang sedang berdzikir itu harus mampu meredam kemauan basyariyahnya dan mengembalikan kepada ketetapan takdir azaliah serta menjiwai lafat-lafat dzikir yang sedang dibaca dengan dasar keyakinan, bahwa seorang hamba hanya sebagai pelaksana yang sekarang sedangkan Allah yang Maha Kuasa adalah perencana pekerjaan itu sejak zaman azali.
Dengan yang demikian itu, ketika irodah hadits dan irodah azali menyatu dalam satu semangat. Seorang hamba berdzikir dengan usahanya dan Sang Junjungan berdzikir dengan kekuasaan dan izin-Nya, maka dzikir yang asalnya lemah—karena dilaksanakan pada dimensi hadits—akan menjadi kuat karena dilaksanakan dalam kebersamaan dengan dimensi qadim. Selanjutnya terjadilah apa yang disebut dengan istilah “Tauhidul Fi’li” atau satu dalam perbuatan. Yang satu perbuatan seorang hamba secara majazi dan yang satunya perbuatan Sang Junjungan secara hakiki. Inilah yang disebut meditasi Islami.
Apabila seorang salik mampu mencapai tahapan tersebut, dzikir haditsnya mencapai dzikir qodim, maka ia akan mencapai interaksi dua dzikir yang berbeda. Yang satu dzikir seorang hamba sebagai munajat dan satunya dzikir dari Tuhannya sebagai ijabah. Dengan demikian itu maka do’a dan munajat seorang hamba akan mendapat ijabah dari-Nya. Allah Ta’ala menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya :
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.(QS.al Baqoroh(2)152)
Bersabda Allah dalam hadist qudusnya yang berbunyi :
” Innal abda iza ah babtuhu qataltuhu, pa iza qataltuhu ana diyatuhu. ”.
artinya : Sesungguhnya hamba Aku, bila Aku sayang padanya Aku bunuh dia, Akulah yang menggantikannya.
“Al- Insaanu ‘aduwwun bimaa jahula”, manusia cenderung memusuhi sesuatu yang tidak diketahuinya”. Demikian kata Imam Ghazali.
Imam Ali RA : “Al-Haqqu bilaa nizhaamin yaghlibuhul Bathil binizhaamin”.
Al-Haq dalam pengertian yang luas bila terus diperkuat dan dikembangkan, akan mampu menggeser kebatilan di segala bidang.
“As-Shira’ bainal haq wal bathil”, pertarungan antara al-Hak dan batil
Garis Pemisah Antara Kufur Dan Iman = Alhadul Faasil Bainal Kufri Wal Iimanni.
Imam Abdullah ibn Alwi Al Haddad dalam kutipan syairnya mengatakan:
ﻟَﺎ ﺗُﻜْﺜِﺮْ ﻫَﻤَّﻚَ، ﻣَﺎ ﻗُﺪِّﺭَ ﻳَﻜُﻮْﻥُ
“Janganlah engkau banyak resah gelisah. Semua hal yang telah digariskan, pasti akan terjadi.”
ﺍَﻟَّﺬِﻱْ ﻟِﻐَﻴْﺮِﻙَ ﻟَﻦْ ﻳَﺼِﻞْ ﺇِﻟَﻴْﻚَ، ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻗُﺴِّﻢَ ﻟَﻚَ ﺣَﺎﺻِﻞٌ ﻟَﺪَﻳْﻚَ، ﻓَﺎﺷْﺘَﻐِﻞْ ﺑِﺮَﺑِّﻚَ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻋَﻠَﻴْﻚَ .
“Sesuatu yang memang digariskan menjadi milik orang lain, tak akan lari ke tanganmu. Dan segala hal yang sudah digariskan untukmu, pasti akan sampai ke tanganmu. Maka, sibukkan dirimu dengan Tuhanmu serta memenuhi kewajiban yang kamu emban.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻗَﺪْ ﺃَﻓْﻠَﺢَ ﻣَﻦْ ﺃَﺳْﻠَﻢْ، ﻭَﺭُﺯِﻕَ ﻛَﻔَﺎﻓﺎً، ﻭَﻗَﻨَّﻌَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻤَﺎ ﺁﺗَﺎﻩُ
“Sungguh beruntung orang yang memeluk agama Islam, diberi rezeki cukup, dan Allah memberikan anugerah kepadanya sifat qanaah (menerima apa adanya) atas semua hal yang diberikan kepadanya.” (HR Muslim).
Pentingnya tafakur
Diriwayatkan dari Abdullah bin Muhammad bin Zakariya, dari Utsman bin Abdillah al-Qurasyi, dari Ishaq bin Najih al-Multhi, dari Atha al-Khurasani, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:
فِكْرَةُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً
“Berfikir sesaat lebih baik dari pada beribadah 60 tahun”(HR. Abu Syaikh al Ashbahâny dalam al ‘Adzamah, 1/299)
Hadits ini tidak shahih menurut Imam Ibnul Jauzi (al Maudhû’ât, 3/144), karena Utsman bin Abdillah dan Ishaq bin Najih dikenal sebagai pendusta. Sedangkan Syaikh ‘Ali al Qary menyatakan ini bukan hadits (Al Mashnû’, hal 82).
Adapun riwayat:
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ
“Berfikir sesaat itu lebih baik daripada Ibadah setahun”.Al Fâkihâni menyatakan ini adalah perkataan Sarri as Saqathi.
Hanya saja terdapat atsar yang shahih yang menjelaskan keutamaan berfikir. Misalnya perkataan sahabat Abu Darda’ r.a:
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
“Berfikir sesaat lebih utama daripada ibadah satu malam.”[1]
(Riwayat Imam Ahmad dalam Az Zuhdu, Ibnu Sa’ad dalam at Thabaqat al Kubro, Ibnu Abi Syaibah dalamMushannafnya, Hanâd dalam Az Zuhdu, Abu Dawud dalam az Zuhdu, al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Ibnu Abbas r.a juga mengatakan:
تذاكر العلم بعض ليلة أحب إلي من إحيائها
Mengingat ‘ilmu di sebagian malam, lebih aku sukai dari pada menghidupkan seluruh malam (dengan ibadah sunnah).” (Mushannaf Abdurrazaq, 11/253).
Imam as Syâfi’i menyatakan:
اسْتَعِينُوا عَلَى الْكَلَامِ بِالصَّمْتِ، وَعَلَى الِاسْتِنْبَاطِ بِالْفِكْرِ
“Mintalah bantuan untuk (pandai) berbicara dengan banyak berdiam, dan mintalah bantuan untuk (pandai) dalam melakukan istinbath (menggali hukum dari dalilnya) dengan (banyak) berfikir.” (Mau’idhatul Mu’minin, hal 310).
الفكرة سراج القلب فاذا ذهبت فلا إضاءة له
“berpikir itu (bagaikan) lentera hati, barang siapa yang kehilangan pikiran, maka tidak ada cahaya bagi hatinya”(Mawâridudh Dham’ân, 3/257).
Hanya saja keutamaan berfikir tersebut baru didapatkan jika objek berfikirnya benar, proses berfikirnya juga benar, dan dilandasi dengan aqidah yang benar.
Terkait objek berfikir, Syara’ menyuruh memikirkan alam semesta termasuk diri manusia sendiri, adapun apa-apa yang diluar indra manusia bukanlah objek berfikir secara langsung, bahkan Rasul melarang untuk memikirkan Dzat Allah.
Berfikir tentang tanda-tanda kekuasaan Allah bisa melahirkan keyakinan, berfikir tentang nikmat pemberian Allah bisa melahirkan rasa syukur, berfikir tentang janji Allah akan menguatkan motivasi, berfikir tentang ancaman Allah kepada akan melahirkan rasa takut kepada-Nya untuk melanggar perintah-Nya, begitu juga memikirkan kurangnya ketaatan kita kepada-Nya akan memberikan ‘kehidupan’ hakiki kepada kita, dengan lebih bersemangat untuk mengejar ketertinggalan kita dalam mentaati-Nya. Allaahu A’lam