57. IKHLASH

Salah satu syarat diterimanya amal adalah ikhlash.. tanpa ikhlas maka amal akan menjadi riya sehingga rusak dan tertolaklah amal tersebut

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ اْلعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا وَابْتَغَى بِهِ وَجْهَهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima sebuah amal, kecuali amal tersebut semata-mata ikhlas karena-Nya.”

Dan bersabda pula Rasulullah dalam hadits:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ

Bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”. (HR. Abu Dawud )

Ikhlash adalah memurnikan ibadah hanya mengharap keridhaanNya, sekaligus memurnikan kehambaan kepada Allah SWT.

Abu Sulaiman ad-Darani (w. 215 H/830 M) tokoh sufi ternama asal negeri Syam menyampaikan urgensi ikhlas karena Allah Ta’ala dalam ungkapannya:

لَوْ خُيِّرْتُ رَكْعَتَيْنِ وَدُخُولِ الْفِرْدَوْسِ لَاخْتَرْتُ رَكْعَتَيْنِ. لِأَنَّ فِي الْفِرْدَوْسِ بِحَظِّي وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ بِرَبِّي.

“Andikan aku diminta memilih shalat dua rakaat dan masuk surga Firdaus, niscaya aku pilih shalat dua rakaat. Sebab dalam memilih surga Firdaus terdapat keuntungan bagiku, dan dalam memilih shalat dua rakaat terdapat kepatuhan terhadap Tuhanku.”

Itu adalah suatu tanda keikhashan yang mendalam,, dan dalam kefahaman yang dalam sehingga mengetahui tentang ni'mat yang sesungguhnya.

Imam Nawawi  mengutip perkataan Khalifah Ustman bin Affan mengenai 4 hal yang menjadikan kenikmatan dalam beribadah.

وَجَدْتُ حَلاَوَةَ العِبَادَةِ فِى أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ : أَوَّلِهَا فِى أَدَاءِ فَرَائِضِ اللهِ وَالثَّانِيْ فِى اجْتِنَابِ مَحَارمِ اللهِ وَالثَّالِثِ فِي الأَمْرِ بِالمَعْرُوْفِ وَابْتِغَاءِ ثَوَابِ اللهِ وَالرَّابِعِ فِى النَّهْيِ عَنِ المُنْكَرِ وَلإِتِّقَانِ مِنْ غَضَبِ اللهِ

“Aku menemukan kenikmatan beribadah dalam empat hal, yaitu ketika mampu menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah, ketika mampu menjauhi segala sesuatu yang diharamkan Allah, ketika mampu melakukan ma’ruf dan mencari pahala dari Allah, serta ketika mampu melakukan nahi munkar dan menjaga diri dari murka Allah.”

Bahwasanya ni'mat terbagi dua yaitu ni'mat dunya dan ni'mat akhirat.. dan orang arifbillah tentu akan mengutamakan ni'mat akhirat. Perkataan Sayyidina Ustman tersebut menunjukan kapada ni'mat ni'mat akhirat.

Perusak amal dari dalam diri adalah ujub dan takabur

Ujub adalah salah satu penyakit ruhani atau penyakit hati yg sangat berbahaya. Selain di haramkan masuk syurga bg org yg dlm hatinya ada sedikit saja Ujub atau kesombongan, ujub ini dapat membinasakan atau merusak amal kebaikan.

Sebelum kita berupaya mengobati penyakit hati yg amat khofi/samar dan amat tersembunyi ini, maka kita harus mengenalinya dari tanda tandanya.

Seorang Hukama, Imam Al-Munaawi As-Syafii ra, menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda org yg ujub adalah :
1. Dia merasa heran jika do'anya tidak diQabulkan oleh Allah. (Karena dia merasa bahwa ke-takwaan nya dan amalannya mengharuskan do'anya diQabulkan oleh Allah, yg hal ini menunjukkan ujubnya dg amalan2 sholehnya)
2. Dia merasa heran jika ada org yg menyakitinya atau yg mendzoliminya dia dalam keadaan istiqomah atau tetap dlm keadaan baik2 saja.
3. Jika ada org yg mengganggunya atau menyakitinya atau mendzaliminya ditimpa musibah bala', maka dia merasa bhw itu merupakan karomahnya (dia beranggapan org tsb telah Kuwalat akbt menyakitinya)
Lalu ia berkata dg bangga atau dg angkuhnya :
“Tidakkah kalian melihat apa yg telah Allah timpakan kepadanya.”
atau ia berkata: "Kalian akan melihat apa yg akan Allah timpakan kepadanya” !

Al-Munaawi ra menambah dg perkataannya:
“Orang dungu (orang yang ujub) ini tidak tahu bahwasanya sebagian orang-orang kafir memukul sebagian para nabi lalu mereka diberi kenikmatan hidup di dunia, dan bisa jadi pula mereka kemudian masuk islam lalu akhir kehidupan mereka adalah kebahagiaan. Maka orang yang ujub ini seakan-akan merasa dirinya lebih baik dari pada para Nabi.
Ket: Ktb At-Taisiir bisyarhul Jaami’us Shoghiir 2/606

Al-Fudhail bin Iyadh berkata:
إذْظَفَرَ اِبْلِيْسُ مِنْ اِبْنِ آدَمَ بِاِحْدَىْ ثَلاَثٍ خِصَالٍ قَالَ: لاَأطْلُبُ غَيْرَهَا: إعْجَابُهُ بِنَفْسِهِ،
وَاسْتِكْثَارُهُ عَمَلَهُ، وَنِسْيَانُهُ ذُنُوْبَهُ
“Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ‘ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia (Iblis) berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.”

Syaikh Ahmad Rifa’I menukil dari pendapat Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Diin, Jilid III halaman 390-391[4], yaitu:

وَحَقِيْقَةُ الْعُجْبِ تَكَبُّرٌ يَحْصُلُ فِى الْبَاطِنِ بِتَحَيُّلِ كَمَالٍ مِنْ عِلْمٍ وَعَمَلٍ , فَإِنْ كَانَ خَائِفًا عَلَى زَوَالِهِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْجِبٍ . وَإِنْ كَانَ يَفْرَحُ بِكَوْنِهِ نِعْمَةً مِنَ اللهِ فَهُوَ لَيْسَ مُعْجِبًا بَلْ هُوَ مَسْرُوْرٌ بِفَضْلِ اللهِ, وَإِنْ كَانَ نَاظِرًا إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ هُوَ صِفَةٌ غَيْرَ مُلْتَفِتٍ إِلَى إِمْكَانِ الزَّوَالِ وَلَا إِلَى الْمُنْعِمِ بِهِ إِلَى صِفَةِ نَفْسِهِ فَهَذَا الْعُجْبُ وَهُوَ مِنَ الْمُهْلِكَاتِ وَعِلاَجُهُ أَنْ يَتَأَمَّلَ فِى الْعَاقِبَةِ, وَأَنَّ بَلْعَامَ كَيْفَ خُتِمَ بِالْكُفْرِ وَكَذَلِكَ إِبْلِيْسَ, فَمَنْ تَأَمَّلَ فِى إِمْكَانِ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ وَإِنَّهُ مُمْكِنٌ فَلاَ يَعْجُبُ بِشَيْئٍ مِنْ صِفَاتِهِ .
“Bahwa hakikat ‘ujub adalah kesombongan yang terjadi dalam diri seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan amal dan ilmunya. Apabila seseorang merasa takut kesempurnaan (ilmu dan amalnya), itu akan dicabut oleh Allah, maka berarti ia tidak bersifat ‘ujub.

Supaya kita lebih memahami makna yang tersirat dari perkataan Imam al-Ghazali  di atas, para ulama ahli sufi dengan jelas memberikan suatu gambaran kepada kita, yaitu[5]:

لَا تُفَرِّحْكَ الطَّاعَةُ لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنْكَ لِأَنَّهُ يُوْرِثُ الْعُجْبَ وَالْكِبْرَ وَإِهْمَالَ الشُّكْرِ
وَافْرَحْ بِهَا لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنَ اللهِ إِلَيْكَ قُلْ بِفَضْلِ اللهِ الْإِسْلاَمِ وَبِرَحْمَتِهِ الْقُرْأَنِ
فَبِذَالِكَ الْفَضْلُ وَالرَّحْمَةُ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ .
“Jangan sesekali merasa diri kita paling taat kepada-Nya, karena ia dapat membawa malapetaka, seperti menganggap diri kita yang paling mulya (‘ujub), takabbur kemudian lupa akan segala nikmat-nikmat-Nya. Dan merasa-lah dalam hati kita, bahwa ketaatan itu sejatinya merupakan pemberian Allah semata, dengan petunjuk-Nya telah memberikan satu karunia cahaya ke-Islam-an dan iman yang diridhai-Nya, dengan kasih sayang-Nya turunlah Al-Quran sebagai pedoman sehingga kita mampu membedakan mana yang hak dan yang bathil, dengan demikian, merasalah bergembira dalam hati atas segala anugerah yang telah Allah limpahkan kepada kita.”

At-Tsauri berkata:
فَاِنْ لَمْ تَكُنْ مُعْجِبًا بِنَفْسِكَ فَإِيَّاكَ اَنْ تُحِبَّ مَحْمَدَةَ النَّاسِ وَمَحْمَدَتُهُمْ اَنْ تُحِبَّ اَنْ يُكَرِّمُوْكَ بِعَمَلِكَ، وَيَرَوْا لَكَ بِهِ شَرَفًا وَمَنْزِلَةً فِى صُدُوْرِهِمْ
“Apabila kamu sudah tidak ‘ujub pada diri, kamu juga mesti menjauhi sifat ‘suka dipuji’. Bukti bahwa kamu suka pujian orang adalah bahwa kamu ingin agar mereka menghormati kamu kerana sesuatu amal yang kamu lakukan dan supaya mereka mengetahui kemuliaan dan kedudukan kamu di hadapan mereka”.

Fudhail bin ‘Iyadh mengemukakan parameter supaya kita dapat mengukur dan mengetahui hakikat diri sendiri:
إِنَّ مِنْ عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ اَنْ يُحِبَّ الْمَدْحَ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ،
وَيَكْرَهَ الذَّمِّ بِمَا فِيْهِ، وَيَبْغَضَ مَنْ يَبْصُرُهُ بِعُيُوْبِهِ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda orang munafik adalah bahwa ingin mendapat pujian dengan perkara yang tidak ada padanya, sedangkan ia membenci terhadap celaan yang ada pada dirinya, dia marah kepada orang yang memandang berbagai kekurangan yang ada pada dirinya”.

TAKABUR

"Al kibru batholul haq waghamtum naas"

(Sifat Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain).

PERUSAK AMAL DARI LUAR DIRI SUM'AH DAN RIYA

Suma'h adalah mengerjakan amal dengan mengharap pujian manusia

Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa yang berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)
Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah diumumkan aib-aibnya di akhirat. Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.

RIYA

Riya adalah mengerjakan amal dengan tujuan luar daripada ridha Allah.

FAMAN'AMILA MINHUM 'AMALAL AKHIRATI LIDDUNYAA, LAM YAKUN LAHU FILAKHIRATI NASHIBUUN. (HR AHMAD)

"Barang siapa mengerjakan amalan akhirat untuk urusan dunya, maka tidak ada baginya bagian akhirat. (HR AHMAD)

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. ”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِـيْهَا إِلَّا ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِـمٌ أَوْ مُـتَـعَلِّـمٌ.

Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allâh dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.

Ikhlash dan Ilmu

Imam Fudlail bin  ‘Iyad mengatakan :

إنّ العَملَ إذا كانَ خالِصًا ولَمْ يكُنْ صَوابًا لَمْ يُقْبَلْ، وإذا كان صَوابًا ولَمْ يكُنْ خالِصًا لَمْ يُقْبَلْ، حتّى يكونَ خالِصًا صَوابًا. ألخالص  أنْ يكونَ لله، والصَوابُ أنْ يكونَ على الكتابِ والسُنَّةِ

“Sesungguhnya apabila melaksanakan amal dengan ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, apabila amal itu benar namun tidak ikhlas maka tidak akan diterima, sehingga amal yang diterima itu harus ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah karena Allah swt semata dan amal yang benar itu adalah sesuai dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulullah SAW.”

Postingan populer dari blog ini

31. 40 KAIDAH FIQIH UMUM (KULLIYAH)

23. SYAIKH AHMAD BADAWI AR RIFAI'