56. TENTANG NIAT
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ،َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.، أَمَّا بَعْدُ؛
Niat
An Niat (niat) secara bahasa artinya adalah al qashdu (maksud) dan al iraadah (keinginan) atau dengan kata lain qashdul quluub wa iraadatuhu (maksud dan keinginan hati).
Ta'rif definisi niat
ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔُ : ﻗَﺼْﺪُ ﺍﻟﺸَﻲْﺀِ ﻣُﻘْﺘَﺮِﻧًﺎ ﺑِﻔِﻌْﻠِﻪِ ، ﻭَﻣَﺤَﻠُّﻬَﺎ ﺍَﻟْﻘَﻠْﺐُ ﻭَﺍﻟﺘَّﻠَﻔُّﻆُ ﺑِﻬَﺎ ﺳُﻨَّﺔ.
Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan melakukannya. Tempat niat adalah hati. Melafalkan niat itu sunnah.
Sementara menurut Syara’ niat adalah
قَصْدُ فعْلِ العبادةِ تَقرُّبًا إلى الله تعالى، بأن يَقْصِد بعملِه اللهَ تعالى دونَ شيءٍ آخرَ، وهذا هو الإخْلاصُ. والعبادةُ إخْلاصُ العملِ بكلّيّتِه لله تعالى
“Maksud mengerjakan sebuah amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tujuan ibadahnya tersebut hanya Allah swt tidak ada tujuan yang lain dan hal ini disebut pula ikhlas. Ibadah adalah pemurnian amal secara keseluruhan hanya kepada Allah semata.”
Qaidah fiqiyyah
نِيَّةُ الْمَرْءِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ
Niat lebih utama daripada amalan
Juga perkataan ulama salaf lainnya seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,
تَعَلَّمُوا النِّيَّةَ فَإِنَّهَا أَبلَغُ مِنَ العَمَل
ِ
“Pelajarilah niat, karena ia lebih dahulu sampai di sisi Allah daripada amalan“
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata,
صَلاَحُ القَلبِ بِصَلاَحِ العَمَلِ، وَ صَلاَحُ العَمَلِ بِصَلاَحِ النِّيَّة
ِ
“Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat“
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah,
مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَليّ
َ
“Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku“.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan
أنّ النيّةَ تَرْجع إلى الإخْلاصِ، وهو واحدٌ للواحدِ الذي لاشريكَ له
“Sesungguhnya niat itu kembali pada ikhlas, dan ikhlas adalah satu untuk Yang Satu tiada sekutu bagi-Nya.”
Imam Baidlawi berpendaapat
الإرادةُ المُتوجِّهةُ نحوَ الفعلِ لابْتغاءِ رضاءِ الله وامْتثالِ حكمِه
“Maksud yang terarah dalam melaksanakan suatu amal ibadah hanya mencari Keridhaan Allah dan dalam pelaksanaannya mentaati hukum-Nya.”
Allah swt berfirman di dalam Q.S Al An’am 6 : 162 – 163 yang berbunyi sebagai berikut
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَلَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ [٦:١٦٣]
“ Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.--- Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Tentang niat, Imam Yahya bin Syarifuddin An Nawawi menerangkan dalam kitabnya “Syarah Arbain Nawawiyah” bahwa fungsi niat itu ada 3 :
1. Litamyizil Adat minal ibadah, artinya untuk membedakan antara amal adat dan amal ibadah.
Contoh: makan, minum, mandi, membersihkan pakaian, nikah, adalah perbuatan adat atau kebiasaan yang dilakukan manusia. Setelah Al Qur’an turun, didalamnya juga memuat perintah – perintah makan, minum, mandi, nikah, dlsb. Kalau pekerjaan – pekerjaan tersebut tidak kita niati melaksanakan perintah – perintah Alloh, maka jatuhnya adalah amal adat. Tapi, kalau kita niati melaksanakan perintah Alloh, maka amal kita jatuh menjadi amal ibadah.
2. Litamyizi Rotbil Ibadah, artinya untuk membedakan tingkatan – tingkatan ibadah. Ibadah itu ada tingkatannya. Ada ibadah nilai wajib dan sunnat. Ada sholat wajib dan sholat sunnat. Antara sholat wajib dan sunnat pekerjaannya sama, yang membedakan hanya terletak pada niatnya saja.
3. Litashihil A’mal, artinya untuk sahnya amal – amal manusia. Dalam hadist Qudsi diterangkan bahwa Alloh tidak akan menerima amalan apapun kalau tidak diniati semata – mata karena Alloh. (Kitab Jamius Shogir jilid II / huruf Qof / hal.136). dalam hadist lain diterangkan : “Wainnama likullimriin ma nawa”, artinya : bagi tiap – tiap orang memperoleh dari apa yang ia niatkan.
=================================
Sedikit mengupas perbedaan niat dalam shalat berjamaah:
Kaedah Imam Syafi’i Mengenai Beda Niat antara Imam dan Makmum
Kata Al Baidhowi sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar, niat adalah istilah untuk geraknya hati[1]. Sehingga dari pengertian, namanya niat tentu di hati, bukan di lisan.
Ada kaedah yang disampaikan oleh Imam Asy Syafi’i mengenai masalah niat ini. Beliau rahimahullah berkata,
ونية كل مصل نية نفسه لا يفسدها عليه أن يخالفها نية غيره وإن أمه
“Niat setiap orang yang melaksanakan shalat adalah niat bagi dirinya sendiri. Niat orang lain yang mengimaminya jika berbeda tidak membuat cacat ibadahnya.” (Al Umm, 1: 201)
Kaedah Imam Syafi’i khusus membahas hukum seputar shalat jama’ah, yaitu bagaimana jika ada perbedaan niat antara imam dan makmum. Setiap yang shalat berniat untuk dirinya sendiri. Yang ia niatkan boleh jadi adaa’ (kerjakan shalat di waktunya) atau qodho’ (mengganti shalat di luar waktu), seperti yang satu mengerjakan shalat Zhuhur dan lainnya shalat ‘Ashar. Boleh jadi niatannya adalah shalat wajib, yang lainnya shalat sunnah, seperti imamnya berniat shalat sunnah fajar, yang makmum berniat shalat Shubuh. Tidak mengapa ada beda niat semacam ini selama pengerjaan shalatnya sama.[2]
Dalil Kaedah
Beberapa dalil yang mendukung kaedah Imam Syafi’i di atas adalah sebagai berikut.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّى مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ يَأْتِى قَوْمَهُ فَيُصَلِّى بِهِمْ
Dari Jabir, ia berkata bahwa Mu’adz pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mendatangi kaumnya dan mengerjakan shalat bersama mereka. (HR. Bukhari no. 711 dan Muslim no. 465)
Pendalilan: Dalil di atas menunjukkan sahnya shalat orang yang mengerjakan shalat fardhu di belakang orang yang mengerjakan shalat sunnah. Karena Mu’adz di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengerjakan shalat wajib. Lantas ia kembali ke kaumnya untuk mengimami mereka dengan niatan shalat sunnah bagi Mu’adz, sedangkan kaumnya berniat shalat wajib.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم أَبْصَرَ رَجُلاً يُصَلِّيْ وَحْدَهُ، فَقَالَ : أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلىَ هذا فَيُصَلِّيَ مَهَهُ* رواه أبو داود (صحيح)
“Dari abi sa’id al-khudriyy, sesungguhnya melihat seorang laki-laki mengerjakan sholat wajib sendiri di masjid, lalu beliau bersabda “tidak adakah laik-laki yang shodaqoh atas orag ini dengan menemaninya sholat bersama ( berjamaah) ?”
عن عطاء قال وإن أدركت العصر بعد ذلك ولم تصل الظهر فاجعل التى أدركت مع الامام الظهر وصل العصر بعد ذلك
Dari ‘Atho’, ia berkata, “Jika engkau mendapati waktu ‘Ashar dan belum melaksanakan shalat Zhuhur, maka niatkan bersama imam dengan shalat Zhuhur, setelah itu barulah engkau melaksanakan shalat ‘Ashar.” (Diriwayatkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm, 1: 200).
Imam Syafi’i berkata,
وإذا لم تفسد صلاة المأموم بفساد صلاة الامام كانت نية الامام إذا خالفت نيه المأموم أولى أن لا تفسد عليه
“Jika shalat imam batal, shalat ma’mum tidaklah batal. Maka demikian pula jika niat imam berbeda dengan niat ma’mum, itu tidak masalah.” (Al Umm, 1: 201)
Di halaman yang sama dalam Al Umm, Imam Syafi’i rahimahullah juga berkata,
وإذا صلى الامام نافلة فائتم به رجل في وقت يجوز له فيه أن يصلى على الانفراد فريضة ونوى الفريضة فهى له فريضة كما إذا صلى الامام فريضة ونوى المأموم نافلة كانت للمأموم نافلة لا يختلف ذلك وهكذا إن أدرك الامام في العصر وقد فاتته الظهر فنوى بصلاته الظهر كانت له ظهرا ويصلى بعدها العصر
“Jika imam melaksanakan shalat sunnah, lalu datang seseorang bermakmum di belakangnya pada saat itu, maka boleh ia berniat dengan niatan ia sendiri yaitu niatan shalat fardhu. Makmum tersebut mendapatkan niat shalat fardhu. Sebagaimana juga ketika imam melaksanakan shalat fardhu, lalu makmum berniat shalat sunnah, maka makmum diperbolehkan seperti itu. Tidaklah bermasalah adanya perbedaan niat kala itu. Begitu pula ketika seseorang mendapati imam melaksanakan shalat ‘Ashar, namun ia ada udzur luput dari shalat Zhuhur, maka ia boleh berniat shalat Zhuhur di belakang imam yang melaksanakan shalat ‘Ashar kemudian setelah itu ia melaksanakan shalat ‘Ashar. ” (Al Umm, 1: 201)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
في مذاهب العلماء في اختلاف نية الامام والمأموم: قد ذكرنا أن مذهبنا جواز صلاة المتنفل والمفترض خلف متنفل ومفترض
“Menurut pendapat para ulama dalam hal perbedaan antara niatan imam dan makmum, sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa menurut madzhab kami, madzhab Syafi’i, boleh adanya beda niat antara imam dan makmum di mana imam melaksanakan shalat sunnah atau shalat wajib dan makmum melaksankan shalat sunnah dan shalat wajib.” (Al Majmu’, 4: 271)
Sedangkan mengenai hadits,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Imam itu diangkat untuk diikuti” (Muttafaqun ‘alaih). Yang dimaksud adalah mengikuti imam dalam hal gerekan dan bukan dalam niat. Karena jika seperti itu dibebani, ini adalah pembebanan yang tidak mungkin dilakukan. Dan di dalam hadits juga disebutkan mengenai gerakan,
فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
“Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah.”[3]
Contoh Lain dalam Penerapan Kaedah
Contoh lain dalam penerapan kaedah Imam Syafi’i di atas:
1- Imam Syafi’i dalam Al Umm (1: 185) berkata,
وإذا افتتح الرجل الصلاة لنفسه لا ينوى أن يؤم احدا فجاءت جماعة أو واحدا فصلوا بصلاته فصلاته مجزئة عنهم وهو لهم إمام ولا فرق بينه وبين الرجل ينوي أن يصلى لهم ولو لم يجز هذا لرجل لم يجز أن ينوي إمامة رجل أو نفر قليل بأعيانهم لا ينوى إمامة غيرهم ويأتى قوم كثيرون فيصلون معهم ولكن كل هذا جائز إن شاء الله تعالى وأسأل الله تعالى التوفيق.
“Jika seseorang memulai shalat untuk dirinya sendiri tanpa berniat menjadi imam bagi yang lain, lalu ada jama’ah atau satu orang shalat di belakangnya, maka shalat orang yang shalat lebih dulu tadi sah untuk mereka. Ia ketika itu menjadi imam untuk mereka. Tidak ada bedanya antara dia dengan orang yang sejak awal sudah berniat menjadi imam. Seandainya hal ini tidak dibolehkan maka jika ada yang berniat imam untuk seseorang atau sekelompok orang lalu datang lagi jama’ah lainnya kala itu, tentu ia tidak boleh jadi imam untuk yang datang terlambat. Intinya semuanya itu boleh -insya Allah Ta’ala-. Aku memohon pada Allah taufik.”
2- Juga Imam Syafi’i menyebutkan dalam Al Umm (1: 209),
ولو صلى مسافر بمسافرين ومقيمين ونوى أن يصلى ركعتين فلم يكمل الصلاة حتى نوى أن يتم الصلاة بغير مقام أو ترك الرخصة في القصر كان على المسافرين والمقيمين التمام ولم تفسد على واحد من الفريقين صلاته
“Seandainya ada musafir yang mengimami para musafir dan orang mukim, di awal imam tersebut berniat dengan shalat dua raka’at (qoshor). Namun ternyata ia meniatkan menyempurnakan shalat (menjadi empat raka’at) setelah itu dengan meninggalkan rukhsoh shalat dua raka’at. Ketika itu shalat makmum musafir dan mukim di belakangnya yang sempurna (dengan empat raka’at) tidaklah batal karena shalat mereka masing-masing tidak merusak shalat yang lain.”