100. BENTENG AQIDAH SIFAT 20
اَلْحَمْدُ لِلهِ اْلوَاحِدِ اْلأَحَدِ, اَّلذِى لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ, اَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالىَ وَاَشْكُرُهُ, اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ نَوَّرَ قُلُوْبَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِالْمَعْرِفَةِ فَاطْمَأَنَّتْ قُلُوْبُهُمْ بِالتَّوْحِيْدِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ.
اَلَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَاَصْحَا بِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ اِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِير' . اَمَّا بَعْدَهْ.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
فَكُلُّ مَنْ كُلِّفَ شَرْعًا وَجَبَاعَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَ مَا قَدْ وَجَبَا
للهِ وَ الْجَائِزَ وَ الْمُمْتَنِعَاوَ مِثْلُ ذَا لِرُسْلِهِ فَاسْتَمِعَا.
“Setiap mukallaf secara syariat wajib mengetahui perkara yang Wajib bagi Allah, ja’iz, dan yang dilarang (mustahil).
Dan (wajib pula mengetahui perkara wajib, ja’iz, dan mustahil) bagi para rasul-Nya, maka hendaklah engkau dengarkan.”
Fatwa Ulama
Berkata Muhyiddin Imam An nafrawi dalam al Fawakih ad dawani :
طريق أبي الحسن الأشعري إمام هذا الفن أنها أسماء لصفات قائمة بذاته تعالىزائدة على صفات المعاني الثمانية أو السبعة التي هي العلم والقدرة والإدراك على القول به ونحو ذلك من بقيتها ، والدليل عنده على ثبوتها السمع لورودها إمافي القرآن أو السنة لذلك تسمى على مذهبه صفات سمعية
“Jalan Abul hasan Al Asyari imam dalam permasalahan ini adalah : Bahwa lafadz-lafadz itu adalah nama untuk sifat yang berdiri pada dzat Allah sebagai tambahan dari sifat-sifat ma'ani yang delapan atau tujuh, yakni sifat ilmu,qudrah,idrak sebagaimana pendapat orang yang mengatakan adanya sifat itu, dan juga sifat semisalnya dari sisa sifat maani tersebut, dan adapun dalil atas penetapan sifat tersebut adalah sam'iyyat karena datang dalam alquran atau pun al hadits,oleh karena itu dalam madhabnya ada sifat-sifat yang di namai dengan sifat sam'iyyat.
Syaikh muhammad adib al kailani berkata :
نبين أنه يجب لله تعالى - على الإجمال - كل كمال، وينزه عن كل نقصان، ويجوز في حقه فعل كل ممكن وتركه، وعلى التفصيل يجب لله تعالى عشرون صفة قسمها العلماء - ابتغاء التعرف إليها على أنها أمهات ما يجب لله تعالى- إلى أربعة أقسام.
“Kami menjelaskan bahwa wajib bagi Allah secara garis besar seluruh sifat kesempurnaan dan Dia di sucikan dari setiap sifat kekurangan dan bebas baginya melakukan setiap hal yang mumkin atau meninggalkannya. Dan secara rinci wajib bagi-Nya bersifat dengan 20 sifat yang di bagi oleh ulama pada 4 bagian,tujuannya hanya untuk memperkenalkan bahwa itu inti sifat yang wajib bagi Allah.”
Al imam Al alamah al hud hudi berkata :
لأن صفات مولانا جل وعز الواجبة له لا تنحصر في هذه العشرين، إذ كمالاته لا نهاية لها، ولم يكلفنا الله إلا بمعرفة ما نصب لنا عليه دليلاً وهي هذه العشرون، وتفضل علينا بإسقاط التكليف بما لم ينصب لنا عليه دليلاً
“Karena sifat Tuhan kita yang wajib itu tidak terbatas dalam 20 sifat saja,karena kesempurnaannya tidak ada batasnya,dan Allah tidak memerintahkan kita kecuali sifat yang di tegakkan dengan dalil yaitu 20 sifat dan Allah mengasihi kita dengan menggugurkan perintah dari mengetahui sifat yang tidak tegak padaNya dalil.”
Syaikh Said Ramadhab al Buthi
يجب أن تعلم في كلمة جامعة مجملة أن الله عز وجل متصف بكل صفات الكمال ومنزه عن جميع صفات النقصان إذ إن ألوهيته تستلزم اتصافه بالكمال المطلق لزوماً بيناً بالمعنى الأخص.ثم إن علينا بعد ذلك أن نقف على تفصيل أهم هذه الصفات، ونبين معناها وما تستلزمه من أمور ومعتقدات. وقد وصف الله تعالى نفسه في كتابه الكريم بصفات كثيرة مختلفة إلا أن جزئيات هذه الصفات كلها تلتقي ضمن عشرين صفة رئيسية ثبتت بدلالة الكتاب وبالبراهين القاطعة
“Wajib mengetahui dengan kalimah yang global bahwa sesungguhnya Allah di sifati dengan seluruh sifat kesempurnaaan dan di sucikan dengan seluruh sifat kekurangan, karena ketuhananNya melazimkanNya di sifati dengan sifat kesempurnaan secara mutlak dengan kelaziman yang jelas dan dengan makna khusus.
Kemudian wajib pada kita untuk mengetahui rincian sifat-sifat yang penting dari seluruh sifat sifat ini. Dan menjelaskan maknanya yang lazim dari perkara- perkara aqidah. Dan Allah telah mensifati dalam kitabnya dengan sifat sifat yang banyak dan berbeda beda, tetapi juz juz sifat sifat itu semuanya tercakup dalam 20 sifat sebagai pokok dan di tetapkan dengan dalil dan bukti yang qot'i.”
Al Imam Ibnu faurak berkata :
فأما ما يثبت من طريق الخبر , فلا يُنكر –أي الإمام الأشعري- أن يرد الخبربإثبات صفات له تُعتقد خبراً , وتطلق ألفاظها سمعاً , وتحقق معانيها على حسبما يليق بالموصوف بها كاليدين والوجه والجنب والعين .لأنها فينا : جوارح , وأدوات , وفي وصفه نعوت وصفات , لما استحال عليهالتركيب , والتأليف , وأن يوصف بالجوارح والأدوات
.
“Dan adapun sifat-sifat yang di tetapkan dengan jalan khobar, Maka ia (Asy’ariyyah) tidakmengingkari untuk mendatangkan khabar dengan menetapkan] sifat yang di itiqadkan sebagai khabar dan juga di ucapkan lafadznya sebagaimana yang di dengar dan di tetapkan maknanya dengan sesuatu yang layak untuk] yang di sifati' dengan sifat tersebut. Seperti sifat dua tangan,wajah,pinggang,mata, karena semua itu ketika di sandarkan pada kami itu bermakna anggota tubuh dan alat, dan dalam mensifati Allah itu semua adalah sifat-sifat semata, karena mustahil bagi Allah adanya tersusun dan mustahil juga di sifati dengan organ dan alat".
Imam ath-Thahawi berkata,
ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻭﺍﻟﻐﺎﻳﺎﺕ ﻭﺍﺃﻟﺮﻛﺎﻥ ﻭﺍﺃﻟﻌﻀﺎﺀ ﻭﺍﺃﻟﺪﻭﺍﺕ ﺍﻝ ﺗﺤﻮﻳﻪ ﺍﻟﺠﻬﺎﺕ ﺍﻟﺴﺖ ﻛﺴﺎﺋﺮ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻋﺎﺕ
Allah Swt Maha Suci dari batasan, tujuan akhir, sudut, anggota tubuh dan peralatan. Allah Swt
tidak diliputi arah yang enam (kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah)136
.
Menyerupakan Allah Swt Dengan Makhluk Adalah Kafir.
Imam an-Nawawi berkata,
ﻓﻤﻤﻦ ﻳﻜﻌﺮ ﻣﻦ ﻳﺠﺴﻢ ﺗﺠﺴﻴﻤﺎ ﺻﺮﻳﺤﺎ
Maka diantara orang yang dikafirkan adalah orang yang menyatakan Allah Swt memiliki tubuh
secara nyata (menyerupakan dengan makhluk)
136 Imam ath-Thahawi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, juz.I, hal.26.
137 Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz.IV, hal.253.
Inallahata’ala lam yafrid syai’an afdola minattauhid wasshalati
walaukana syai’an afdola mintu laf tarodohu ‘ala malaikatihi minhum raakitu wa minhum sajidu,
artinya,
Allah tidak memfardukan sesuatu yang terlebih afdhol daripada mengEsakan Tuhan.
Jika ada sesuatu terlebih afdhol daripadanya niscaya tetaplah telah difardhukan kepada
malaikatnya padahal setengah daripada malaikatnya itu ada yang ruku’ selamanya dan
setengah ada yang sujud selamanya.
Dan juga ilmu tauhid ini jadi asal bagi segala ilmu yang
lain yang wajib diketahui dan lagi karena mulia , yaitu Zat Tuhan dan rasul dan dari itu maka
jadilah maudu’nya semulia-mulia ilmu dalam agama islam.
Sifat Wajib Bagi Allah s.w.t
Adapun yang menunjukkan Wajibnya Allah persifatan dengan sifat 20 yaitu dari sifat WUJUD sampai sifat MUTAKALLIMAN adalah BARUNYA ALAM SEMESTA ini, Artinya bumi langit serta segala isinya, Karna apabila tidak wajib bagi Allah persifatan dengan sifat 20, maka pasti persifatan Allah dengan lawannya sifat 20 yaitu dari sifat TIADA sampai sifat BISU. Apabila persifatan Allah dengan lawannya sifat 20, maka pasti baru Allah, apabila baru Allah, maka pasti lemah Allah, apabila lemah Allah, maka pasti tidak akan wujud alam semesta ini, tapi tidak wujudnya si alam itu batal sebab telah jelas terlihat mata, apabila batal maka jadi wajiblah persifatan Allah dengan sifat 20 yaitu dari sifat WUJUD sampai sifat MUTAKALLIMAN.
Adapun PERKARA JAIZ nisbat pada Dzatnya Allah itu ada 1, yaitu :
فِعْلُ كُلِّ مُمْكِن
ٍ اَوْ تَرْكُهُ
(FI’LU KULLI MUMKININ AU TARKUHU) pengertian Jaiz nisbat pada Dzatnya Allah adalah kebolehan bagi Allah menciptakan wujudnya MUMKIN atau kebolehan bagi Allah meniadakan wujudnya MUMKIN adalah JAIZ, mustahil Wajib.
Adapun yang menunjukkan kebolehan bagi Allah menciptakan wujudnya mumkin, atau meniadakan Allah pada wujudnya mumkin adalah apabila wajib bagi Allah menciptakan wujudnya mumkin, atau apabila mustahil bagi Allah menciptakan wujudnya mumkin maka pasti akan terbalik wujudnya si mumkin menjadi wajib atau mustahil, tapi terbaliknya wujud si mumkin menjadi wajib atau mustahil itu batal, sebab telah jelas terlihat mata, apabila batal maka jadi JAIZlah bagi Allah menciptakan wujudnya si mumkin atau JAIZlah bagi Allah meniadakan wujudnya si mumkin, mustahil Wajib.
Adalah sifat yang jauh pada hak Allah Ta’ala hanya satu saja yaitu boleh bagi Allah mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu atau di sebut sebagai mumkin. Mumkin ialah sesuatu yang boleh ada dan boleh tiada.
Akal menemukan uang wajib, mustahil dan jaiz.
Ta,rif/Definisi ‘Akal :
نور لطيف روحا ني تد رك به الفس العلو م الضرورية والنضرية ومحله القلب ونوره في الد ما غ وابتدا ئه من حين نفخ الروح فيالجنين واو ل كما له البلوغ
Sinar latif ruhani(sinar ruhani) yang dapat menemukan pengetahuan yang sulit maupun yang mudah.Tempatnya adalah Hati dan pancarannya di otak, pertama kali tumbuhnya adalah ketika ruhani manusia di tiupkan(oleh malaikat jibril) ke dalam janin(kandungan ibunya)dan mulai sempurna ketika dia menginjak usia baligh.( khoridatul bahiyyah hal 31 )
Adapun pendahuluan masuk pada menjalankan ilmu tauhid itu berhimpun atas tiga perkara:
1. Khawas yang lima yaitu, Pendengar, Penglihat, Pencium, Perasa lidah dan Peraba
2. Khabar Mutawatir, yaitu khabar yang turun menurun. Adapun khabar mutawatir itu dua bahagi:
a. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah orang banyak
b. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah rasul-rasul
3. Kandungannya yaitu mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin (kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal menurut bagaimana kepercayaan itu.
Bahagian I: Sifat Nafsiyah:
Ta'rif safat Nafsiyyah
هِيَ اَلحَالُ اْلوَاجِبَةُ لِلذَّتِ مَادَامَتِ الذَاتُ غَيْرُ مُعَلَّلٍ بِعِلَّةِ
Artinya : hal (sifat) yang pasti menetap pada suatu yang maujud, selama dzat itu ada tanpa penyebab lain.
Sifat Nafsiyyah adalah : Sifat yang menetetapkan adanya Allah dan menunjukkan kepada DzatNya Allah tanpa ada sesuatu tambahan pada Dzat.
Sifat Nafsiyyah. Artinya: Sifat yang tidak bisa difahami Dzat Allah tanpa adanya sifat.
اَلْحَلُ الْوَجَبَتُ لِلذَّاتِ مَادَمَتِ الذَّاتُ غَيْرَمُعَلَّلَةٍ
suatu keadaan dzat yang wajib selama tidak terdapati kecacatan dengan suatu cacat.
اَنَّهُ حَالٌ فَلَهُ ثُبُوْتٌ فِی نَفْسِهِ
Bahwasanya ia suatu keadaan yang bagiya itu sifat tsubutiah (suatu keadaan yang wajib) bagi-Nya.
(Imam Harumaen dan Imam Abu Bakar Al Baqilani)
Wujud, artinya ada, yang ada itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adam, artinya tiada yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada karena jikalau Allah Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan pada alam ini. Alam ini jadilah statis (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima 'aqal jika semua itu (perobahan) terjadi dengan sendirinya.
Jikalau alam ini jadi dengan sendirinya niscaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya yaitu firmannya dalam Al Qur’an:
Allahu kholiqu kullu syai’in
artinya, Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.
Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah yaitu Wujud (ada) itulah dirinya hak Allah Ta’ala.
Adapun ta’rif sifat nafsiyah lainnya yaitu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, artinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat pada makna
Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu :
Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati,
artinya: hal yang wajib bagi dzat selama adanya dzat itu tidak dikarenakan dengan sesuatu, karena adanya itu tidak karena jadi oleh sesuatu dan tidak terjadi dengan sendirinya dan tidak menjadikan dirinya sendiri dan tidak pula tiba tiba jadi.
Adapun Wujud itu dikatakan sifat Nafsiyah karena wujud menunjukkan diri Dzat yang sebenar benarnya, tidak ada yang lain selain Dzat-Nya dan tidak boleh dipisahkan wujud itu ke selain daripada Dzat seperti sifat yang lain-lain. (Laa maujuda ilallaah)
Adapun Wujud itu tiga bagian:
1. Wujud Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu bersifat Qadimdan Baqa’, inilah wujud sebenarnya
2. Wujud Majazi/idlofi, yaitu dzat segala makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala
3. Wujud ‘Aridy, yaitu dzat ‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh, syurga, neraka, Arasy, Kursyi dan lain-lain
Adapun yang Mawujud/adanya itu diadakan, terbagi dua bagian:
1. Mawujud dalam ‘alam sahadah, yaitu yang di dapat dengan khawas yang lima (pendengaran, penglihatan penciuman, perasa/lidah dan peraba) seperti langit, bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain
2. Mawujud didalam ‘alam ghaib yang tiada didapat dengan khawas yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan Kasaf kepada siapa-siapa yang dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin, Syaitan, Nur dan lain-lain.
Adapun segala yang Mawujud itu lima bahagi:
1. Mawujud pada Zihin yaitu ada pada ‘aqal (kepintaran kebodohan, kefahaman, dan sebagainya)
2. Mawujud pada Kharij yaitu ada kenyataan bekas (kenyang, sakit, lapar, sembuh dan sebagainya)
3. Mawujud pada Khayal yaitu seperti bayang-bayang dalam air atau yang didalam mimpi
4. Mawujud pada Dalil yaitu ada pada bukti seperti asap tanda ada api
5. Mawujud pada Ma’rifat yaitu dengan pengenalan yang vonis, tidak dapat diselingi lagi terus Ma’rifat kepada Allah Ta’ala
Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:
1. Dalil yang didapat dari lima Khawas tiada dapat didustakan
2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan
3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan
4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada dapat didustakan
5. Dalil yang didapat daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan.
Ulama yg yang mengatakan wujud adalah "hal" dalm arti wujud sesuatu yang tidak dpt dikatakan ada (maujud) dan bukan sesuatu yang tidak ada (ma'dum), berarti wujud itu antara maujud dan ma'dum. sesuatu di antara maujud dan ma'dum di sebut "hal".
contoh yang maujud adalah sifat ma'ani seperti ilmu, sama, bashar Allah ta'ala. sifat ma'ani ini disebut maujud karena dapat digambarkan dalam pikiran kita tentang adanya. sehingga kalau Allah membuka hijab, maka sungguh dapat dilihatnya karena ia memang ada (muajud). sifat ma'dum seperti baqa Allah ta'ala dan sifat2 salbiyah lainnya. baqa disebut ma'dum karena makna baqa adalah tidak berkesudahan, jadi baqa menafikan berkesudahan sehingga tepat disebut sifat penafian, jadi bukan sesuatu yang ada (maujud). contoh sifat ma'dum yg lain adalah esa, jadi esa bukanlah sesuatu yang maujud, tetapi esa hanya ingin menjelaskan bahwa allah tidak banyak. tidak banyak itu ma'dum.
contoh hal yang lain adalah sifat ma'nawiyah seperti yang berkuasa. yang berkuasa disebut sebagai hal karena yang berkuasa itu bukan yang maujud dan bukan pula yg ma'dum. yang maujud hanya kuasa dan zat Alllah. sedangkan yang kuasa di antara maujud dan ma'dum. sebagai ilustrasi sdr bisa menggambarkan misalnya "pensil yang panjang" pada pinsil tersebut yang maujud cuma pensil dan panjang, sedangkan "yang panjang" tidak maujud. "yang panjang" tersebut juga tidak bisa disebut ma'dum karena sesungguhnya "yang panjang" masuk dalam konsep pemikiran seseorang, karena itu "yang panjang" di antara maujud dan ma'dum (bukan ada dan bukan pula tidak ada). inilah yang disebut dgn "hal".
kembali kepada masalah wujud. kalau wujud termasuk dalam katagori hal, maka wujud berada antara maujud dan ma'dum, tentu wujud dalam arti ini tidak dapat dilihat dan tidak dapat juga diraba. tetapii kalau wujud bermakna ain zat, maka tentu ain zat dapat dilihat. karena itu zat Allah Ta'ala dapat dilihat di hari akhirat kelak sebagaimana i'tiqad ahlussunnah wal jama'ah. cuma zat Allah Ta'ala tidak dpt di raba dan disentuh karena zat Allah ta'ala bukan benda. adapun ain zat benda tentu dapat dilihat dan di raba sebagaimana rumah, meja dll.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian II: Sifat Salbiyah
Sifat Salabiyyah adalah sifat yang menolak segala sifat-sifat yang tidak layak dan patut bagi Allah s.w.t, sebab Allah Maha sempurna dan tidak memiliki kekurangan.
Adapun hakikat sifat Salbiyah itu:
wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla,
Artinya perkara yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tidak patut dan tidak layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
Sifat salbiyyah yaitu lima sifat:
1. QIDAM, artinya terdahulu
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya Bersalahan/berbeda Allah Ta’ala dengan segala yang baharu/makhluq
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, Maha berdiri sendiri
5. WAHDANIAH, artinya Esa
1. QIDAM, artinya terdahulu
Kata Qodim dan Azali
Ada dua perkataan yang berkaitan dengan Qidam, yaitu Qodim dan Azali, yang pengertian dan hubungannya dengan Qidam para ‘Ulama berpendapat :
1.Perkataan Qodim dipergunakan untuk sesuatu yang ada dan adanya tidak ada permulaan dan tidak terkait zaman, maka yang disebut Qodim adalah Dzat Allah SWT. Dan sifat Ma'ani di Allah SWT. Perkataan Azali, dipergunakan untuk yang tidak ada permulaan, maka yang disebut Azali adalah Allah SWT dan semua sifat Allah SWT.
2.Perkataan Qodim, hanya digunakan untuk yang tidak ada permulaan dan tidak membutuhkan kepada yang lain maka perkataan Qodim hanya untuk Dzat Allah SWT, tidak kepada sifatnya, karena sifat membutuhkan kepada Dzat. Perkataan Azali, untuk yang tidak ada permulaan, baik berdiri sendiri atau bersandar kepada yang lain, maka perkataan Azali adalah untuk Dzat Alloh SWT, dan seluruh sifat-sifatNya.
3.Perkataan Qodim dan Azali, sasarannya sama, untuk yang tidak ada permulaan, maka seluruh sifat Allah SWT. Dan Dzat Allah SWT. Bisa disebut Qidam bisa pula disebut Azali.
Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan adanya permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Hudusy artinya baru, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah baru karena jikalau Allah baru niscaya jadilah Wujud-Nya itu jaiz tidak wajibal wujud.
Maka tetaplah Allah telah terdahulu wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, artinya Ia juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun.
al-Imam al-Subki berkata dalam kitabnya Syarh 'Aqidah Ibn al-Hajib:
اِعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْجَوَاهِرِ وَاْلأَعْرَاضِ كُلِّهَا الْحُدُوْثُ فَإِذًا الْعَالَمُ كُلُّهُ حَادِثٌ، وَعَلَى هَذَا إِجْمَاعُ الْمُسْلِمِيْنَ بَلْ كُلِّ الْمِلَلِ وَمَنْ خَالَفَ فِيْ هَذَا فَهُوَ كَافِرٌ لِمُخَالَفَتِهِ اْلإِجْمَاعَ الْقَطْعِيَّ اهـ
Artinya: "Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar dan 'aradh (Jauhar adalah benda terkecil yang tidak dapat terbagi lagi. Sedangkan 'aradh adalah sifat benda yang keberadaannya harus menempati benda lain) adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma' kaum Muslimin, bahkan ijma' seluruh penganut agama-agama (di luar Islam). Barangsiapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma' yang qath'i."
2. BAQA’ artinya Kekal
Adapun hakikat Baqa’ itu menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’ artinya binasa yaitu mustahil tidak diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baru tidakah Ia bersifat Qadim. Karena telah terdahulu bagi-Nya maka wajib bersifat Qadim dan menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.
Adapun yang Kekal itu dua bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala
b. Kekal Arady, yaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, karena ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga nabi.
Dan pendapat lain adalah baqo dibagi tiga;
a.Baqo Nisbi, kekal atau abadinya sesuatu karena disandarkan kepada yang lain, seperti ; besi lebih kekal jika disandarkan (dibandingkan) dengan kayu tapi bila dibandingkan dengan baja tidaklah lebih kekal.
b.Baqo Zamani, abadinya sesuatu yang tidak akhir tapi ada permulaannya dan terikat zaman, seperti abadinya kafirin di Neraka dan abadinya Mukminin di Surga, namanya Kholidin atau Abadal Abidin. Namun demikian keabadiannya tidak lebih dari Tahta Ma Syiyatillah yakni dibawah kehendak Allah.
c.Baqo Haqiqi, kekalnya sesuatu yang tidak ada permulaan, tidak ada khir, tidak terikat zaman dan bukan karena disandarkan kepada yang lain, yakni kekal dan abadinya Allah SWT.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI artinya Bersalahan/berbeda Allah Ta'ala dengan segala yang baru/makhluq
Adapun Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits itu adalah menafikan dzat, sifat dan af'al Allah Ta'ala dengan segala sesuatu yang baru, yakni tidak bersamaan/serupa dengan segala yang baru, lawannya Mumassalatuhulilhawadits, artinya bersamaan/serupa dengan segala sesuatu yang baru.
Tidak diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta'ala itu bersamaan/serupa dzat-Nya, sifat-Nya dan af'al-Nya dengan segala yang baru, karena apabila bersamaan/serupa dengan segala yang baru maka tidaklah Ia bersifat Qidam dan Baqa', sebab segala yang baru menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib bagi Allah Ta'ala bersifat Qidam dan Baqa', maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta'ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur'an:
laisa kamislihi syaiin wa huwassami'ul bashir, artinya tidak seumpama Allah Ta'ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.
- Adapun bersalahan/berbeda Dzat Allah Ta'ala dengan Dzat yang baru karena Dzat Allah Ta'ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau 'aradh (Jauhar adalah benda terkecil yang tidak dapat terbagi lagi. Sedangkan 'aradh adalah sifat benda yang keberadaannya harus menempati benda lain) dan tidak dijadikan, tidak bertempat, tidak berjihat/berarah, tidak bermasa atau tidak terkurung zaman dan tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
- Bersalahan/berbeda sifat Allah Ta'ala dengan sifat yang baru karena sifat Allah Ta'ala Qidam dan menyeluruh ta'aluqnya, seperti Sami' Allah Ta'ala ta'aluk pada segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baru itu tidak Qidam dan tidak menyeluruh ta'aluknya, tetapi ta'aluk pada setengah perkara yaitu sebagai sebab saja.
Seperti yang baru mendengarnya pada yang berhuruf dan bersuara, dan tidak mendengar yang berhuruf dan bersuara apabila jauh atau tersembunyi, seperti gerak-gerak yang dalam hati. Begitu pula sifat-sifat yang lain tidak serupa dengan sifat Allah Ta'ala.
- Adapun bersalahan/berbeda pada af'al perbuatan Allah Ta'ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta'ala itu memberi bekas dan tidak dengan alat perkakas dan tidak pula dengan minta tolong dan tidak mengambil faedah/manfaat dan tidak ada yang sia-sia dari semua yang diciptakannya.
Namun perbuatan yang baru tidak memberi bekas dan af'alnya pun dengan menggunakan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah. Dan berlaku setengah ta'aluk pada yang mawujud yaitu sebagai sebab saja.
Adapun yang wajib untuk ‘Alam/yang baru mengandung empat hal:
1. Materi, yaitu barang yang beku bersamaan luar dan dalam seperti, batu, kayu, besi dan tembaga
2. Massa, yaitu barang yang hidup memakai nyawa tidak sama luar dalam seperti manusia dan binatang
3. Jauhar Farad, barang yang tidak bisa dibelah-belah atau dibagi-bagi seperti asap, abu dan kuman yang halus-halus
4. Jauhar Latief, yaitu Massa yang halus seperti ruh, malaikat, jin, syaiton dan nur
Wajibnya untuk Jirim, Massa, Jauhar Farad dan Jauhar Latief bersifat dengan empat sifat:
1. Tempat, maka wajib baginya memakai tempat seperti kiri atau kanan, atas atau bawah, depan atau belakang
2. Jihat, maka wajib baginya memakai jihat seperti utara atau selatan, barat atau timur, jauh atau dekat
3. Berkumpul atau berpisah,
4. Memakai ‘Arad, yaitu gerak atau diam, besar atau kecil, panjang atau pendek dan memakai rasa seperti manis atau masam, masam atau tawar dan memakai warna-warna seperti hitam atau putih, merah atau hijau dan memakai bau-bauan seperti harum atau busuk.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya
Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu adalah menafikan butuh kepada tempat berdiri dan menafikan butuh kepada yang menjadikan dia, yakni tidak butuh kepada tempat berdiri dan tidak butuh kepada yang menjadikannya.
Mustahil tidak diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tidak berdiri dengan sendiriNya, karena Ia Dzat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka butuh kepada tempat berdiri karena sifat itu tidak bisa berdiri dengan sendirinya.
Dan tidak butuh kepada yang menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau butuh Ia kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia baru, apabila ia baru tidaklah ia bersifat Qidam dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.
Adapun menurut butuh kepada tempat berdiri dan butuh kepada yang menjadikan dia itu ada tiga bagian:
a. Tidak butuh kepada yang menjadikan Dia dan tidak butuh kepada tempat berdiri, yaitu Dzat Allah Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tidak butuh kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah Ta’ala.
c. Butuh kepada tempat berdiri dan butuh kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim dan ‘aradh yang baru.
Pengertian kalimah-kalimah ini ialah:
1. JIRIM (جرم)
Tiap-tiap barang yang bertempat dan mempunyai ruang.
2. JISIM (جسم)
Jika JIRIM itu besar dinamakan JISIM.
3. JAUHAR (جوهر )
dipecahkan kepada:
a. JAUHAR MURAKKAB (جوهر مركب).
JIRIM yang kecil untuk menyempurnakan susunan sesuatu JISIM.
b. JAUHAR FIRAD (جوهر فرد).
Ialah Jirim yang terlalu kecil hingga tidak bisa dibagi atau dipecah- pecahkan lagi.
4. 'ARADH (عرض)
Semua keadaan dan hal sifat sesuatu benda. Misalnya:
'Aradh bagi Jirim itu ialah sifat Jirim itu sendiri seperti berbentuk, berupa, bertempat, berpihak, bergerak, berdiam, berhubung, bercerai, bercampur bersatu-padu, bersatu hakikat, keluar masuk, berjarak jauh-dekatnya, mempunyai ukuran besar-kecilnya, ada ukuran timbangan berat-ringannya, bermasa, berusia, berbanding, berumpama, bersuara, sunyi dan senyapnya dan lain-lain lagi yang seumpama dengannya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
Adapun hakikat Wahdaniah itu menafikan kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kammumfasil (bercerai-berai banyak yang serupa) pada Dzat, pada sifat, dan pada af’al.
Lawannya An-yakunu wahidan, artinya tidak ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tidak Ia Esa, karena jikalau tidak Ia Esa tidaklah ada alam ini karena banyak yang memberi bekas. Dan bila pun alam ini maka tidak akan teratur.
Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara atau selatan, karena tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.
Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan didalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-berai.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun Wahdaniah pada Dzat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan Dzat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan Dzat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat (api, udara, air dan tanah)
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-berai banyak yang sejenis atau serupa.
Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-berai banyak yang sejenis atau serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka barulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, menafikan bercerai-berai yaitu banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka barulah kita katakan Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian III: Sifat Ma’ani
Adalah:
1. Sifat wajib bagi Allah yang dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia, serta dapat meyakinkan orang lain, lantaran kebenarannya dapat dibuktikan oleh panca indera.
2. Sifat yang keberadaannya berdiri pada Zat Allah s.w.t yang wajib baginya hukum.
Adapun hakikat sifat Ma’ani itu:
wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman,
artinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (yaitu Ma’nawiyah)
A. Ta’alluq Sifat – Sifat Ma’âni
-- Ta’alluq menurut bahasa ialah; bergantung, berkaitan, bertalian berhubungan.
-- Ta’alluq menururt istilah dalam kajian ilmu tauhid, khususnya sifat-sifat ma’âni adalah Tentang sifat atas suatu pekerjaan setelah sifat itu berdiri pada zat. Ada beberapa macam ta’alluq, yaitu :
1.Ta’alluq sifat qudrat dan irâdat
Ta’alluq keduanya, kepada hal-hal yang jaiz atau yang mumkin saja, tidak ta’alluq kepada hal-hal; yang wajib dan tidak juga kepada hal-hal yang mustahil.
- Jika kedua sifat ini ta’alluq kepada yang wajib, maka akan terjadi tahsîl al hasil. Yaitu, mengadakan yang memang sudah ada.
- Jika ta’alluq kepada yang memang wajib ada, maka akan bertukar hakekat yang wajib kepada jaiz.
- Jika kedua sifat ini mengadakan yang mustahil ada, maka akan bertukar yang mustahil, menjadi jaiz.
Ini semua tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, kedua sifat ini, hanya berta’alluq kepada yang jaiz, sebagai ta’alluq ta’tsir (memberi bekas/memberi efek), dengan perincian bahwa, sifat qudrat berkaitan dengan mengadakan dan meniadakan sesuatu, sedangkan sifat irâdat berkaitan dengan menentukan dan menghendaki sesuatu yang sesuai dengan pilihan-Nya.
2. Ta’alluq sifat sama’ dan bashar
Ta’alluq kedua sifat ini, kepada segala yang maujud (yang ada), yaitu hal-hal yang wajib dan yang jaiz, tidak ta’alluq kepada hal-hal mustahil. karena mustahil itu memang tidak ada wujudnya.
Nama ta’alluq kedua sifat ini adalah; ta’alluq inkisyâf, artinya terbuka bagi Allah Ta’ala segala yang maujûd.
Namun inkisyâf sama’, berbeda dengan inkisyâf bashar, karena inkisyâf sama’ berarti tersingkap atau keterbukaan segala yang maujûd melalui sama’ Allah Ta’ala , sedangkan inkisyâf bashar adalah, keterbukaan segala yang maujûd melalui bashar Allah Ta’ala.
Tegasnya, segala yang berwujud, bersuara dan berbunyi, diketahui oleh Allah Ta’ala, melalui sama’ dan bashar-Nya, secara wajib pada hukum akal bukan jaiz pada hukum akal.
2. Ta’alluq sifat Irâdat
Yaitu, ketentuan Allah Ta’ala terhadap yang mumkin, dengan keadaan dari salah satu dari dua keadaan yang bertentangan. Misalnya si A, bila lahir boleh menjadi tinggi dan boleh menjadi pendek. Kekhususan bagi si A, yang lahir sebagai orang yang pendek, termasuk tugas dari ta’alluq irâdat. Setelah itu ta’alluq qudrat tanjîzi menciptakan si A betul-betul menjadi pendek. Demikian juga halnya ketentuan warna kulit, daerah dan nasab yang terlebih dahulu ditentukan oleh sifat irâdat. Untuk selanjutnya diciptakan oleh qudrat. Oleh sebab itu, ta’alluq irâdat, terbagi dua kelompok, yaitu :
2.1. Kelompok ta’alluq sulûhi qadîm
Yaitu, kelayakan ta’alluq irâdat kepada segala yang mumkin, untuk mengkhususkan yang mumkin tersebut, agar mempunyai kondisi tertentu sebelum yang mumkin itu maujud. Kelayakan ta’alluq irâdat kepada segala yang mumkin adalah qadîm , karena bersifat qadîm, maka ta’alluq sulûhi bagi irâdat, bersifat qadîm juga.
2.2. Kelompok ta’alluq tanjizi qadîm
Yaitu, pengkhususan Allah Ta’ala secara langsung terhadap suatu yang mumkin, berkeadaan dengan suatu keadaan tertentu, sebelum yang mumkin itu diciptakan. Kekhususan yang demikian juga bersifat qadîm, karena Allah Ta’ala mengkhususkan ( menentukan ) suatu keadaan kepada yang mumkin dengan irâdat-Nya yang qadîm, maka ta’alluq tanjîzi bagi irâdat juga bersifat qadîm.
Dengan uraian ini, dapat diketahui bahwa, segala yang mumkin bila adanya berkeadaan dengan suatu keadaan adalah, merupakan penjelmaan dari ta’alluq irâdat yang tanjîzi. Sehingga sebahagian ulama Tauhid, mengistilahkan bahwa; ta’alluq tanjîzi bagi qudrat adalah, “ qada’ ” dan penjelmaan yang mumkin ke alam nyata sesuai dengan ta’alluq tanjîzi irâdat, dinamakan dengan “qadar”.
Iradat Menurut Ahlussunnah :
Irâdat (kehendak / ketentuan Allah ) tidak mesti sejalan dengan perintah dan ridhoNya. Untuk itu ada empat macam :
1. Kadang dikehendaki Allah, disuruhNya dan diridhoiNya. Seperti iman orang yang diketahui Allah keimanannya, Misalnya, Abu Bakr siddiq.
2. Kadang tidak dikehendakiNya, tidak diperintahNya dan tidak diridhoiNya. Seperti kafirnya Abu Bakr.
3. Kadang dikehendakiNya, tidak diperintahNya dan tidak diridhoiNya. Seperti kafirnya orang-orang yang diketahui Allah, tidak akan beriman. Misalnya, Fir’aun, Qarun dan orang-orang bermaksiat
Kadang diperintahNya, tetapi tidak dikehendakiNya. Seperti berimannya Fir’aun, Qarun dan lain-lain.
1. Qudrat artinya Kuasa
Adapun hakikat Qudrat itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang tsabit/kuat berdiri pada Dzat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu barang yang boleh adanya atau tiadanya.
3. Ta’alluq sifat ‘ilmu dan kalâm
Kedua sifat ini, ta’alluq kepada hukum akal yang tiga, yaitu ta’alluq kepada hal yang wajib, kepada hal yang jaiz dan kepada hal yang mustahil. Maksudnya adalah, ‘ilmu Allah Ta’ala mengetahui segala hal yang wajib, hal yang mustahil dan hal yang jaiz. Tidak ada yang tertutup atau luput dari ‘ilmu-Nya. Ta’alluq sifat ini dinamakan ta’alluq inkisyâf juga, sedangkan sifat kalâm, dinamakan ta’alluqnya dengan ta’alluq dalalah, artinya menunjukkan atau menfirmankan segala hal yang wajib, mustahil dan jaiz adanya.
4. Sifat hayât
Sifat ini tidak ta’alluq kepada salah satu dari hukum akal yang tiga, karena sifat ini, hanya menjadi syarat sah bagi berdirinya sifat-sifat ma’âni yang enam itu kepada Zat.
B. Ta’alluq Sifat Ma’âni Satu Persatu :
1. Ta’alluq sifat qudrat
Yaitu, hubungan atau kaitan sifat ini dengan ciptaan atau perubahan sesuatu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Sasaran ta’alluqnya adalah segala yang jaiz atau segala yang mumkin, yaitu :
a. Segala mumkin yang belum ada
Sedangkan bekas atau pengaruh ta’alluq qudrat kepada mumkin yang belum ada, adalah :
1) Menetapkan yang mumkin itu, dalam keadaan “tidak ada” selama waktu yang dikehendaki
2) Berubahnya yang mumkin itu, dari tiada menjadi ada.
b. Segala mumkin yang sudah ada.
Sedangkan bekas atau pengaruh ta’alluq qudrat kepada mumkin yang sudah ada, adalah :
1) Tetapnya yang mumkin itu, dalam keadaan “ada”, selama waktu yang dikehendaki
2) Berubahnya yang mumkin itu, dari satu kondisi kepada kondisi yang lain
3) Kembalinya yang mumkin itu, menjadi tidak ada
Dari keterangan diatas, maka keta’alluqan qudrat kepada segala yang mumkin, dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
1.1. Kelompok ta’aluq sulûhi qadîm (patut dalam azali)
Yaitu, kelayakan ta’alluq qudrat Allah Ta’ala, kepada segala yang mumkin pada azali dan kelayakannya adalah qadîm, karena qudrat itu bersifat qadîm. Oleh sebab itu, dinamakan ta’alluq sulûhi, dengan ta’alluq sulûhi qadîm.
1.2 Kelompok ta’alluq tanjîzi hadits
Yaitu, ta’alluq qudrat Allah Ta’ala secara langsung kepada segala yang mumkin, sehingga segala yang mumkin tadi mengalami perubahan, yakni menjadi ada atau kembali menjadi tidak ada atau berubah dari satu keadaan menjadi keadaan yang lain. Oleh sebab itu, ta’alluq ini disebut dengan ta’alluq tanjîzi hadis.
1.3 Kelompok ta’alluq qabdlah
Yaitu, segala bentuk perubahan pada segala yang mumkin, berada dalam qabdlah (genggaman) qudrat Allah Ta’ala, dalam arti bahwa, tidak terjadi suatu perubahan pada diri sesuatu yang mumkin, kecuali dengan ta’alluq tanjîzi qudrat kepada suatu yang mumkin.
Akhirnya, ta’alluq qudrat Allah Ta’ala kepada segala yang mumkin, ada tujuh macam, yaitu :
ad. 1.1 Ta’alluq sulûhi qadîm, yaitu kelayakan ta’alluq qudrat pada azali, kepada segala yang mumkin.
ad. 1.2 Ta’alluq qabdlah kepada mumkin ma’dum ( tidak ada ), yaitu ta’alluq qudrat kepada mumkin, sebelum yang mumkin itu diciptakan.
ad. 1.3 Ta’alluq tanjîzi kepada yang mumkin ma’dum, yaitu ta’alluq qudrat kepada yang mumkin ma’dum, untuk diciptakan, sehingga menjadi ada ia.
ad. 1.4 Ta’alluq qabdlah kepada mumkin maujûd ( yang sudah ada ), yaitu, mumkin yang sudah maujûd itu, tidak mengalami perubahan. Kecuali dengan ta’alluq qudrat secara tanjizi telah berlaku padanya, sehingga berubah.
ad. 1.5 Ta’alluq tanjîzi kepada mumkin maujûd, yaitu ta’alluq qudrat kepada yang mumkin maujûd, untuk dirubah menjadi kembali tidak ada.
ad. 1.6 Ta’alluq qabdlah kepada yang mumkin sudah ditiadakan, yaitu mumkin yang sudah ditiadakan, berada dalam qabdah qudrat, sebelum dibangkitkan kembali nanti dari kubur.
ad. 1.7 Ta’alluq tanjîzi kepada yang mumkin sudah ditiadakan, yaitu ta’alluq qudrat Allah Ta’ala kepada yang mumkin sudah ditiadakan, untuk dibangkitkan kembali pada hari pembalasan, yakni ; hari kiamat.
3. Ta’alluq sifat sama’
Para ulama mutakallimin, berbeda pendapat tentang objek ta’alluq sifat sama’ (yang dita’alluqi oleh sama’). Sebahagian mereka menyatakan, bahwa, sama’ hanya ta’alluq kepada yang didengar saja, yaitu ; suara dan bunyi. Pendapat ini sangat logis, oleh karena adanya perbedaan pendapat ini, maka merekapun berbeda pendapat pula dengan apa yang didengar oleh nabi Musa as, dahulu. Sebahagian ulama menyatakan , yang telah didengar oleh nabi Musa as, adalah kalâm nafsi, sementara yang lain menyatakan adalah kalâm lafzhiy.
Selanjutnya sifat sama’ ini, mempunyai tiga segi ta’alluq, yaitu :
a. Ta’alluq sulûhi qadîm yaitu, ta’alluq sama’ dengan kita, sebelum kita diciptakan.
b. Ta’alluq tanjîzi qadîm yaitu, ta’alluq dengan Zat Allah Ta’ala
c. Ta’alluq tanjîzi hadits yaitu, ta’alluq sama’ kepada kita, setelah kita diciptakan.
4. Ta’alluq sifat bashar
Yaitu, ta’alluq kepada yang maujûd (telah ada), baik berupa zat, maupun sifat dari suatu yang mumkin. Bashar juga mempunyai ta’alluq yang sama dengan ta’alluq sama’.
5. Ta’alluq sifat ilmu
Sifat ilmu, hanya memiliki dua segi ta’alluq, yaitu :
a. Ta’alluq sulûhi qadîm
Yaitu, kelayakan atau kepatutan sifat ilmu ta’alluq kepada
segalanya; (wajib, mustahil dan jaiz), dengan berbagai keadaan tanpa perantara, tanpa mumkin ada pada azali dan kelayakannya tingkatan pengetahuan, (waham, syak, Zhan dan yakin ) dan tanpa didahului oleh ketidaktahuan (jahil). Oleh karena itu, ilmu bersifat qadîm. Maka kelayakan ilmu ta’alluq kepada segala-galanya adalah; qadîm, maka ta’alluq ini disebut, dengan ta’alluq sulûhi qadîm.
b. Ta’alluq tanjîzi qadîm
Yaitu, ta’alluq ilmu Allah kepada segala-galanya secara langsung, dengan kondisi yang telah disebutkan. Mustahil ilmu Allah Ta’ala yang maha tahu atas segala sesuatu, didahului oleh ketidaktahuan (jahil). Oleh sebab itu , ta’alluq tanjîzi ilmu Allah itu juga qadîm, dengan arti kata, Allah Ta’ala tdak pernah tidak tahu; pada suatu ketika; masa yang lalu, sekarang atau yang akan datang. Karena ilmu-Nya meliputi segala waktu dan tempat
6. Ta’alluq sifat kalâm
Sebelum menjelaskan ta’alluq sifat kalâm, terlebih dahulu akan dijelaskan macam-macam kalâm, yaitu :
a. Kalâm Nafsi
b. Kalâm Lafzhiy
Kalâm Nafsi adalah, kalâm yang tidak mempunyai huruf dan tidak mempunyai suara atau bunyi. Manusia juga mempunyai kalâm nafsi yaitu ; kata jiwa, ide dan kata hati atau perasaan yang belum diutarakan atau belum diucapkan, ketika belum menjadi alat komunikasi.
Kalâm Lafzhiy adalah ; lafazh–lafazh yang mengibaratkan kalâm nafsi, yakni lafazh yang diucapkan atau perwujudan dari kalâm nafsi, yang sama dengannya dan tidak serupa dengan keberadaannya, karena kalâm Lafzhiy telah berhuruf dan berbunyi.
Memahami kedua kalâm ini, maka Al-Qur'an dalam arti kalâm nafsiy adalah; sifat Allah Ta’ala yang qadîm. Sedangkan Al-Qur'an dalam arti kalâm Lafzhiy yang ada didalam mushaf adalah hadits. Inilah yang disampaikan Jibril kepada Muhammad SAW, tertulis dan tersusun. Al-Qur'an inilah, yang haram disentuh tanpa suci, dan Al-Qur'an ini pula, yang sering dibaca dan ada pahalanya. Maka ia ta’alluq kepada yang wajib, mustahil dan jaiz, sebagai ta’alluq dalalah. Ta’alluq kepada yang wajib, mustahil dan jaiz disebut dengan ta’alluq tanjîzi qadîm. Sedangkan ta’alluq sifat kalâm kepada hal yang jaiz, ada tiga macam, yaitu :
a. Ta’alluq tanjîzi qadîm, yaitu ta’alluq kalâm, kepada hal jaiz dari segi ada atau tidaknya.
b. Ta’alluq tanjîzi hadits, yaitu ta’alluq kalâm, kepada hal yang jaiz itu dari segi hukum yang jaiz pula, untuk menjadi pegangan.
c. Ta’alluq sulûhi qadîm, yaitu ta’alluq kalâm kepada hal yang jaiz, dari segi ada atau tidak adanya, maupun dari segi hukum kejaizannya (kebolehan) sebagai ta’alluq kelayakan.
Demikianlah ta’alluq sifat ma’âni, yang telah diuraikan satu-persatu, kecuali sifat hayât. Sifat ini tidak mempunyai ta’alluq, sebab ia hanya menjadi syarat sah bagi sifat-sifat ma’âni, yang lain untuk berdiri (tetap ada) pada zat Allah Ta’ala.
Adapun mumkin itu empat bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulunya tidak ada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.
b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu mumkin yang tidak pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan kakek nenek kita yang sudah mati.
c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tidak dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tidaklah ada alam ini karena yang lemah itu tidak dapat memperbuat suatu perbuatan.
Maka sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada Dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau terdahulu, tiada diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan/berbeda dengan yang baru, maha suci dari sekalian misal.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbidzdzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tidak mengambil faedah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tidak kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tidak kamumfasil (tidak berpisah dengan sifat yang lain).
2. Iradat artinya Menentukan
Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang tsabit berdiri pada Dzat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.
Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada atau tidaknya
b. Menentukan Tempat mumkin itu
c. Menentukan Jihat/arah mumkin itu
d. Menentukan Sifat mumkin itu
e. Menentukan Qadar/ukuran mumkin itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya tidak menentukan atau tidak berkehendak, yaitu mustahil tidak diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tidak menentukan atau tidak berkehendak, karena jikalau tidak Ia menentukan atau tidak Ia berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini niscaya tidaklah baru (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
fa’allu limaa yuriy d’,
artinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang ditentukan-Nya.
Adapun Iradat dengan amar/perintah dan nahi/larangan itu bertentangan karena:
Ada kalanya disuruh tetapi tidak dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya.
Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.
Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak.
Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.
Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Iradat Allah Ta’ala Qadim atau dahulu tidak diawali dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tidak diakhiri dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan/berbeda dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbidzdzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tidak meminta tolong pada sesuatu, dan tidak mengambil faedah.
* Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tidak kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tidak kamumfasil (tidak berpisah dengan sifat yang lain).
3. Ilmu artinya Mengetahui
Adapun hakikat Ilmu itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang jaiz.
Adapun yang wajib itu Dzat dan sifatNya, maka mengetahui Ia DzatNya dan sifatNya yang Kamalat/sempurna
Adapun yang mustahil itu yaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tidak dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tidak terdinding/terhalang yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim
Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu mustahil tidak diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh karena jikalau ia Jahil atau bodoh niscaya tidaklah teratur atau tersusun segala pekerjaan didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tidak layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau dahulu, tidak diawali dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tidak diakhiri dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan/berbeda dengan yang baru, maha suci dari sekalian misal, dan tidak terhalang.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada Dzat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tidak kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tidak kamumfasil (tidak bepisah dengan sifat yang lain).
4. Hayat artinya Hidup
Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya maut artinya mati, yaitu mustahil tidak diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati karena jikalau Ia mati niscaya tidaklah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang tiada mati.
Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tidak patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Hayat Allah Ta’ala Qadim atau dahulu tidak diawali dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tidak diakhiri dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan/berbeda dengan yang baru, maha suci dari sekalian misal.
* Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada Dzat Allah Ta’ala, tidak meminta tolong pada sesuatu.
* Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tidak kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tidak kamumfasil (tiada berpisah dengan sifat yang lain)
5. Sami’ artinya Mendengar
Adapun hakikat Sami’ itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau Muhadats.
Adapun mawujud yang Qadim yaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadats yaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tidak terhalang pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya tuli yaitu mustahil tidak diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia tuli karena jikalau Ia tuli niscaya tidaklah dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya dengan berdoa.
Dalil naqli firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum yaitu tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .
Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tidak patut dan tidak layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau dahulu, tidak diawali dengan tuli.
* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tidak diakhiri dengan tuli.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau berbeda dengan yang baru, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terhalang.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada Dzat Allah Ta’ala, tidak meminta tolong pada sesuatu.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tidak kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tidak kamumfasil (tidak berpisah dengan sifat yang lain).
6. Bashir artinya Melihat
Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada Dzat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau muhadats.
Adapun mawujud yang Qadim itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tidak berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang muamalat/sempurna
Adapun mawujud yang muhadats itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan diadakan.
Tiada terhalsng yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat gelapnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya buta, yaitu mustahil tidak diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Taa'la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta
Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Bashir Allah Ta’ala Qadim atau dahulu tidak diawali dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tidak diakhiri dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau berbeda dengan yang baru, maha suci dari sekalian misal, dan tidak terhalang.
* Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tidak kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tidak kamumfasil (tidak berpisah dengan sifat yang lain).
7. Kalam artinya Berkata-kata
Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tidaklah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.
Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifatnya tidak berbilang tetapi terbagi bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tidak patut dan tidak layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Kalam Allah Ta’ala Qadim atau dahulu, tidak diawali dengan bisu.
* Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tidak diakhiri dengan bisu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau berbeda dengan yang baru, maha suci dari sekalian misal, tidak terhalang dan tidak berhuruf atau bersuara.
* Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tida k meminta tolong pada sesuatu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tidaj kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tidak kamumfasil (tidak berpisah dengan sifat yang lain).
Bahagian IV: Sifat Ma’nawiyah
Yaitu sifat-sifat yang berhubungan dengan sifat ma’ani atau keaktifan sifat-sifat tujuh di atas. Termasuk kelompok ini adalah sifat Kaunuhu Qodiron, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiron, dan Kaunuhu Mutakalliman.
Sifat Ma`nawiyah adalah sifat-sifat yang melazimi dari sifat Ma`ani, dengan kata lain sifat Ma`nawiyah adalah sifat yang wujud disebabkan adanya sifat Ma`ani, seperti Allah memiliki sifat kuasa, maka lazimlah Allah itu keadaannya Kuasa.
Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian V: Sifat Istighna
Artinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, artinya Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang lain.
Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.
Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:
Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Kiyamuhubinafsihi, Sami’, Basir, Kalam, Sami’un, Basirun dan Muttakalimun.
Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat Istighna yaitu
1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil faedah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya
2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang menyempurnakan-Nya
3. Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi sesuatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh.
Bahagian VI: Sifat Ifthikhor
Artinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthikhor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.
Apabila dikatakan berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,
Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:
1. Qudrat
2. Iradat
3. Ilmu
4. Hayat
5. Qodirun
6. Muridun
7. ‘Alimun
8. Hayyun
9. Wahdaniah
Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat Ifthikhor:
1. Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya karena lajim ketika itu bersamaan derejat-Nya
2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya karena lajim ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.
Maka sekarang telah nyata pada kita bahwa duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan duapuluh dua (22) sifat Ifthikhar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) 'akaid yang terkandung didalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa mustaghniyun angkullu maasiwahu, artinya tiada yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya dan berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.
Ini makna yang pertama maka daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):
1. Wajibal wujud, yaitu yang wajib adanya.
2. Ishiqoqul ibadah, yaitu yang mustahak bagi-Nya ibadah
3. Kholikul 'alam, yaitu yang menjadikan sekalian alam
4. Maghbudun bihaqqi, yaitu yang disembah dengan sebenar-benarnya.
Ini makna yang kedua maka daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:
Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.
Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat
Adapun yang dinafikan itu sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan: laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah
Laa = nafi, Ilaha = menafi, ila = isbat, Allah = meng-isbat
Yang kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi sepeti sabda nabi : laa yufarriqubainannafi wal-isbati wamamfarroqu bainahumaa fahuwa kaafirun, artinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan kafir.
Seperti asap dengan api. Asap itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah artinya nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu.
=================================
SIFAT-SIFAT KERASULAN
Adapun sifat yang wajib bagi rasul itu empat (4) perkara dan yang mustahil padanya empat (4) sifat pula dan yang harus padanya satu (1) sahaja:
1. Siddiq, artinya Benar, lawannya Qizib, artinya Dusta yaitu mustahil
2. Amanah, artinya Kepercaan, lawannya Hianat, artinya Tiada Kepercayaan yaitu mustahil
3. Tabligh, artinya Menyampaikan, lawannya Qitman, artinya Menyembunyikan yaitu mustahil
4. Fathonah, artinya Cerdik Bijaksana, lawannya Biladah, artinya Jahil yaitu mustahil
Adapun yang harus padanya satu (1) sahaja, yaitu: 'Iradul basariyyah, artinya Berperangai dengan perangai manusia yang tiada membawa kekurangan seperti makan, minum beranak, beristri dan sebagainya, lawannya tiada 'Iradul basariyyah, yaitu Tiada Berperangai dengan perangai manusia yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena kita telah mendengar banyak sekali sejarah atau riwayat nabi semasa hidupnya, istimewa pula orang yang sudah berjumpa dengannya seperti segala sahabatnya seperti Abu Bakar dan sahabat yang lain dan begitu juga segala musuhnya seperti Abu jahal dan Abu lahab
dan ditambah lagi dengan empat (4) perkara pada rukun iman dan lawannya.
Maka jadilah delapan belas (18) Aqa’id yang terkandung didalam kalimah MuhammadurRasuulullaah
1. Percaya akan Malaikatnya, lawannya Tiada percaya
2. Percaya akan Kitab, lawannya Tiada percaya
3. Percaya akan segala Rasul, lawannya Tiada percaya
4. Percaya akan Hari Kiamat, lawannya Tiada percaya
Empat (4) sifat yang wajib bagi rasul dan empat (4) sifat pula yang mustahil padanya dan satu (1) sifat yang harus padanya, lawannya satu (1) pula, ditambah dengan empat (4) pada Rukun Iman dan lawannya empat (4) pula maka dijumlahkan semuanya jadilah delapan belas (18) Aqa’id yang terkandung didalam Sahadat Rasul, maka baharulah jadi Aqa’idul Iman enam puluh delapan (68) yang terkandung didalam Dua Kalimah Syahadat.