36. PERBEDAAN MASJID DAN MUSHAALA
Setiap tempat di permukaan bumi yang seorang sah shalat di atasnya teranggap sebagai masjid. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
“Bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid dan tempat yang suci” [HR. Al-Bukhari]
Namun masjid yang berlaku di dalamnya hukum-hukum fiqih adalah tempat yang diwakafkan untuk shalat, yaitu tempat yang diwakafkan dan disediakan khusus untuk shalat. Adapun definisi mushalla adalah tempat yang digunakan untuk shalat dan berdoa tanpa disyaratkan wakaf. Setiap tempat yang digunakan untuk shalat dan berdoa baik statusnya wakaf atau bukan disebut mushalla. Oleh karena itu, mushalla mencakup masjid dan selainnya. Setiap masjid adalah mushalla dan tidak setiap mushalla adalah masjid.
Terdapat perbedaan hukum fiqh diantara keduanya:
[Pertama] Masjid adalah tempat yang diwakafkan untuk shalat, tidak sah melakukan transaksi jual-beli dan semisalnya di masjid. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
الأظهر أن الملك في رقبة الموقوف ينتقل إلى الله تعالى، أي ينفك عن اختصاص لآدمي فلا يكون للواقف ولا للموقوف عليه
“Yang nampak bahwa kepemilikan tanah yang diwakafkan berpindah pada Allah ta’ala, maksudnya terlepas dari kepemilikan manusia, bukan lagi menjadi hak milik orang yang mewakafkan maupun pihak yang menerima wakaf” [Minhaaj Ath-Thalibin, 1/70]
Sedangkan mushalla masih mungkin dimiliki oleh pihak tertentu sehingga diperbolehkan melakukan transaksi jual-beli dan sewa-menyewa di dalamnya, serta boleh pula memindahkan mushalla ke tempat yang lain
[Kedua] Diharamkan bagi wanita junub dan haid menetap di masjid, dan sebaliknya diperbolehkan bagi mereka menetap di mushalla. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
ويحرم بها - أي بالجنابة - ما حرم بالحدث، والمكث بالمسجد لا عبوره
“Menetap di masjid diharamkan bagi orang yang junub, namun diperbolehkan bagi orang yang berhadats atau seorang yang hanya sekedar lewat” [Minhaaj Ath-Thalibin, 1/21]
[Ketiga] Tidak sah melakukan i’tikaf dan shalat tahiyyatul masjid kecuali di masjid. Al-Khathiib Asy-Syirbiini rahimahullah berkata:
ولا يفتقر شيء من العبادات إلى مسجد إلا التحية والاعتكاف والطواف
“Seluruh ibadah tidak disyaratkan dilakukan di masjid kecuali shalat Tahiyyatul masjid, I’tikaf dan Thawaf” [Mughniy Al-Muhtaaj, 5/329]
[Keempat] Diharamkan membangun lantai atau bangunan khusus di atas masjid. Disebutkan dalam Hasyiyah Ibni ‘Abidiin,
لو تمت المسجدية ثم أراد البناء - أي بناء بيت للإمام فوق المسجد - مُنع
“Seandainya pembangunan masjid telah sempurna, kemudian ia ingin menambah bangunan lain –seperti membangun rumah imam di atas masjid- maka hal itu terlarang” [Hasyiyah Ibni ‘Abidin, 3/371]
Sedangkan diperbolehkan melakukan hal itu di mushalla, karena mushalla bukan tempat wakaf, namun dengan tetap menjaga kebersihan dan kesucian tempat dari najis.
Melakukan shalat Jum’at di mushalla hukumnya sah, namun yang lebih utama dilakukan di masjid. Pensyarah kitab Al-Minhaj berkata:
لأن إقامتها في المسجد ليست بشرط
“Karena melakukan shalat Jum’at di masjid bukanlah syarat” [Syarh Al-Minhaaj, 2/238] wallahu ta’ala a’lam”